Oleh: Anshari Dimyati, SH, MH
Perang asimetris merupakan perang konvensional yang dikembangkan, tetapi dengan cara berpikir tak lazim, memiliki spektrum sangat luas karena mencakup astagatra (delapan aspek kehidupan) yang meliputi trigatra dan pancagatra.
Trigatra terdiri atas aspek geografi, demografi, dan sumber daya alam (SDA), sedang pancagatra meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Begitulah definisi Dewan Riset Nasional (DRN) terhadap ancaman Non Militer kepada Indonesia sebagai sebuah Negara. Ancaman Non Militer ini, tak cuma datang dari luar, akan tetapi dari dalam. Benturan dari keduanya, sama kuat. Maka dari itu, tugas semua pihak dalam mensinergikan potensi positif untuk menjaga ideologi, ketahanan, dan keamanan bangsa.
Institusi Negara patut ekstra keras dan intensif dalam pelibatan kelompok-kelompok masyarakat, golongan-golongan, dan lainnya, untuk membahas persoalan tersebut. Sekalipun pada faksi yang bertentang pandangan pada tujuan berbangsa dan bernegara ini, mereka tetaplah anak bangsa, yang memilih berfikir dan dengan cara yang berbeda.
Kaum muda turut memiliki peran vital, dalam menjaga kedaulatan, namun akan pudar dan terkikis semangat kebangsaan bilamana tak dirawat, dirangkul, dan dipercaya sebagai generasi masa depan.
Tak bisa dipungkiri, nasionalisme yang dirasa oleh rakyat “jaman old” tak berbanding lurus dengan “kids jaman now”. Semua yang dihadapi hari ini, ekstra cepat, utamanya adalah informasi dan transaksi elektronik (teknologi informasi). Semua berada pada titik individualistik di depan layar kaca. Norma kesopanan tak lagi dipandang baik ketika kita menurunkan tangan sambil melangkah kaki melintasi orang tua ketika berjalan. Sopan, juga dapat berarti “like” and “subscribe”, atau komentar baik pada laman facebook rekan atau keluarganya. Penghinaan juga tak tunjuk muka seperti dulu, akan tetapi cukup melalui media sosial dengan melakukan “hate speech” dan “persekusi”.
Pertentangan kian marak, hari ini. Ancaman terhadap “persatuan” yang terjadi, bukan hanya karena faktor ekonomi yang memburuk akibat pemerintah salah atur keuangan negara, bukan pula karena perimbangan keuangan pusat-daerah, atau perbedaan budaya-suku di daerah-daerah, atau perbedaan pandangan politik, atau rasa sosial masyarakat yang semakin hari tergerus oleh teknologi. Akan tetapi bersebab atas persoalan keadilan, kesejahteraan, keadaban, moralitas yang jarang kita temukan, untuk kita junjung setinggi-tingginya sebagai pondasi hidup kita dalam satu tanah yang kita injak bersama-sama.
Komitmen tersebut menjadi tonggak terbaik agar kerapuhan dan perpecahan tak hinggap sebagai racun dalam tubuh. Rekonstruksi terhadap sejarah bangsa diperlukan, rekonsiliasi semua pihak atau kelompok dibutuhkan, rekondisi ekonomi rakyat pula dianggap penting, reformasi hukum dan keadilan sebagai panglima tertinggi di Negara patut dilakukan, dan reaktualisasi kaum muda dalam memandang kekuatan bangsa ke depan patut menjadi perhatian. (10 Oktober 2018. Salam dan jabat erat. Anshari Dimyati. Pengajar ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Pontianak).