Oleh: Markus Marlon, M.Sc
Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” (Pramoedya Ananta Toer).
***
Pernah suatu kali saya melihat ada seorang wanita muda yang giat menulis diary. Lantas saya bertanya, “Untuk apa Anda lelah-lelah menulis hal-hal yang sepele?” Wanita muda itu pun berkata, “Siapa tahu, goresan pena saya ini nanti akan disukai banyak orang dan dikenang seperti apa yang dilakukan oleh Anne Frank (1929 – 1945) ”.
Kemudian, saya pun berkata, “Yach benar, The Diary of Anne Frank tidak hanya disukai banyak pembaca, tetapi terlebih menghebohkan dunia.”
Mungkin kita pernah ingat akan orang-orang yang dipenjara karena tulisan-tulisannya yang tajam bagaikan pedang. Ada pembakaran buku-buku yang mengecam rezim tertentu. Dalam Gereja Katolik di Roma khususnya dan Eropa pada umumnya, pada kurun waktu tertentu, buku-buku yang dilarang beredar itu masuk dalam buku index.
Kalau di Indonesia, kritikan-kritikan pedas yang disampaikan lewat tulisan itu, dihentikan oleh pemerintah dengan istilah pemberedelan. Benar, memang pepatah ini, “The pen is mightier than the sword” – Pena memiliki kekuatan yang lebih besar daripada pedang.
Orang yang menulis itu otaknya bekerja keras. Ketika merangkai huruf demi huruf dan kata demi kata serta kalimat demi kalimat, pikirannya aktif. Ia mulai mempelajari padanan kata dan mencari kata-kata dari sumber-sumber yang sahih. Di sinilah seorang penulis “dipaksa” untuk mengekplorasi sebuah kata. “Qui scribit, bis legit” – siapa yang menulis, dia itu membaca dua kali.
Bahkan, dikatakan bahwa dirinya bergumul dengan pustaka. “Doctus cum libro” – menjadi pandai karena buku.
Semakin banyak bergumul dengan pustaka dan menulis, seseorang makin senang menulis, seperti apa yang dikatakan oleh Erasmus (1466 – 1536), “crescit scribendo scribendi studium” – dengan menulis hasrat untuk menulis semakin berkembang. (Minggu, 25 September 2016)