Oleh: Tuti Alawiyah
Dalam kesempatan ini teringatlah sebuah cerita ayahku. Salah satu kenangan dari masa kecilnya yang masih tertinggal di memori yaitu “Arak-arakan”. Saat itu berusia 9 tahun, bersekolah di Sekolah Rakyat (SR), ayahku melakukan arak-arakan bersama teman-temannya. Hanya sekali ia melakukan itu, namun tetap teringat olehnya kapan, di mana dan bagaimana walaupun usianya sudah 67 tahun saat ini.
Pada masa itu, arak-arakan atau yang lebih dikenal “Pawai Ta’aruf dilakukan di Jalan Raya Wajok Hilir. Wajok Hilir merupakan desa yang terdiri dari beberapa desa jika diurutkan dari barat hingga timur di antaranya Parit Kebayan, Parit To’adam, Parit Langgar, Parit Wa’dongkak, Parit Jakob dan Parit Simpang Empat arah barat. Arak-arakan tersebut dimulai dari SR di Jalan Raya Wajok Hilir berada di antara Parit To’adam dan Parit Langgar sampai ke Parit Wa’dongkak. Ya, tepat ketika malam satu Muharram.
“Saye waktu itu mengikuti gaya ulama, pakai sarung, pakai jas kebetulan belum ada jadi pinjam dengan kawan, lalu kain dililitkan di kepala semacam sorban,” cerita ayah ketika berperan sebagai ulama.
“Ha … ha …” tawaku, karena sampai detik ini, ayah masih berpakaian sama seperti saat berperan sebagai ulama hanya saja ia berkopiah.
“Saidek tuh, same seperti saye jadi ulama juga, malah bawa tasbih,” lanjut ayah menceritakan abang kandungnya.
Kata ayah, semuanya ada, selain berpakaian layaknya ulama, juga ada yang menunjukkan berbagai suku seperti ada Bugis Bone, Melayu dan Madura. Dan berbagai profesi seperti buruh, petani, dan guru.
Selain itu, masing-masing membawa properti hasil buatan sendiri misalnya, dari cerita ayah, ia membuat ikan berbahan kawat lalu menancapkannya di bambu agar bisa dipegang. Ada juga membuat masjid berbahan kertas karton lalu diberi pelita di dalamnya sehingga memberi penerang jalan saat pawai malam itu.
Setelah itu, ayah dan teman-temannya berkumpul di rumah gurunya, Pak Ja’far. Masa itu guru-guru yang mengajar di SR dan TK bertempat tinggal di dekat sekolah tersebut. Sebab, mereka berasal dari Pontianak.
Perkumpulan masa itu tidak hanya dipenuhi oleh murid-muridnya saja, namun orang tua murid juga berkesempatan hadir. Hingga tibalah saat-saat yang dinantikan, properti yang menjadi pameran saat pawai tersebut akan dipilih tiga terbaik.
“Melakukan pawai pada masa itu hanya untuk menyemarakkan Tahun baru Islam dan untuk memperkenalkan adanya berbagai suku dan profesi melalui pakaian yang dikenakan.” jawab ayah atas pertanyaanku kenapa melakukan pawai masa itu.
Di manapun, kapan pun, dan masa apa pun, tentu saja ada orang-orang tua dan ada anak-anak muda. Orang tua yang masih mempertahankan nilai-nilai moralitas lama yang baik. Dan anak muda yang memakai nilai-nilai moralitas baru yang dianggap baik. Sehingga diharapkan kita mempertahankan nilai-nilai moralitas lama yang baik dan tidak mau alergi mengambil pula nilai-nilai moralitas baru. (CM/PBS)