Oleh: Masri Sareb Putra
in memoriam:
Cara Pak Jakob menegur kami
Suatu siang. Di bilangan Palmerah Selatan. Sehabis makan siang. Seingat saya, tahun 1991. Samping kantor kami, ada jalan arteri. Berdampingan dengan rel kereta api. Lalu seberangnya banyak warung makan, serba ada. Ada lapo. Ada manado. Ada masakan jawa. Terserah selera, mana suka!
Sehabis makan, tentu ngantuk. Apalagi siang bolong. Ruang berpendingin di gedung Kompas Gramedia waktu itu masih sedikit. Maklumlah keadaan.
Sebagian saja ruangan yang ada AC-nya. Salah satunya, lobi gedug Kompas-Gramedia. Samping kiri lobi kini –yang telah disekat. Dulu los sampai ke ATM, dan bawahnya bunker, kantor kami, Grasindo.
Kami sejenak rehat di ruang berpendingin itu. Duduk santai. Jam istirahat makan siang 12.00-13.00. Jadi, masih ada sekitar 10 menit. Kami ngobrol santai. Menjuntai kaki. Santailah pokoknya.
Seingat saya, para musketers itu: Saya, Soembodho, YB Sudarmanto (alm.), Theodores Koekeritz (alm.), Djony Herfan, dan Pamusuk NST, seorang Batak yang lebih halus daripada Jawa.
Di tengah obrolan seru ngalor ngidul itu, tiba-tiba datang Jakob Oetama. Kami terhenyak. Mau minggat, gak berani. Ia duduk, bersama kami, di ruang tamu yang nyaman itu.
Ia bertanya. Kami menjawab. Lalu katanya, sembari melihat-lihat kursi dan memerhatikan AC.
“Enak, ya? Duduk-duduk di sini?”
“Ya, Pak,” jawab salah seorang.
Saya sudah merasa jantung mau copot.
“Apalagi abis makan,” kata JO. “Sungguh enak!”
“Stttt!” Pamusuk menyikut saya. “Caranya orang baik menegur kita!”
Lalu satu per satu, kami, dimulai Pamusuk meninggalkan ruang sejuk berpendingin itu.
Begitulah caranya orang baik menegur. Saya tetap ingat. Meski telah lebih 30 tahun lalu!
Tentang JO, mungkin saya bisa bikin sebuah buku khusus. Spesial pengalaman, juga kisahan saya, tentangnya.(*Penulis adalah pegiat literasi Dayak asal Kalbar, berkhidmat 20 tahun di Kompas, menetap di Jakarta)