Oleh: Laeliya Almuhsin
Akhirnya aku bisa ngobrol dengan pasien Covid-19 lain. Kini kami sekamar berdua di ruang isolasi. Dia perempuan usia 40. Dia awalnya termasuk yang tak percaya adanya Covid. Karena tak pernah lihat langsung pasien, hanya nonton berita di TV, dan sering dengar tentang Covid yang katanya cuma konspirasi pemerintah.
Setelah dia mengalami sendiri baru merasakan dampak virus ini benar ada. Dia mengalami demam sekian hari, badan nggreges, kliyengan saat awal, kehilangan aroma dan rasa, batuk, sesak nafas, dan dada sakit.
Dia benar-benar terkapar parah selama 5 hari karena buat miring saja dada sakit sekali. Napas pendek seperti berkejaran. Dia muntah terus-terusan sampai dehidrasi sehingga saat diambil darahnya susah. Darah mengental. Ini karena dia juga punya kolesterol tinggi. Gejala pasien Covid-19 memang berbeda-beda. Tergantung kondisi awal pasien.
Soal kehilangan kemampuan indera perasa, dia awalnya hanya bisa mengenali rasa manis tipis, tapi tak merasakan rasa lainnya. Sedangkan aku kehilangan semua rasa. Dulu aku makan madu terasa hanya cairan lengket di lidah tanpa rasa.
Kini dia setelah merasakan sendiri, menyadari kalau Covid-19 itu nyata. Yang dia khawatirkan adalah anak-anaknya yang bisa dikucilkan oleh teman-temannya atau tetangganya. Anak-anak dititipkan ke ortunya. Suami isolasi mandiri. Katanya, suaminya justru yang terus menerus menangis di rumah.
Sebelumnya dia sekamar dengan empat pasien Covid. Sekamar merasakan batuk semua. Tapi gak semua sesak napas. Gejalanya berbeda-beda. Psikisnya juga berbeda-beda. Ada satu pasien yang nangis terus sepanjang hari.
Teman sekamarku ini datang ke RS saat anosmia Hari ke-5. Lalu, Hari ke-7 sudah bisa mencium aroma kembali, pelan-pelan. Dia mengaku mental turun saat hari pertama tahu positif Covid-19 hingga hari ketiga. Suaminya hanya tes rapid tapi tak bersedia tes Swab karena tak ada gejala. Hasil tes rapid suami tak reaktif, tetapi tatap harus isolasi mandiri.
Teman sekamarku pertama dapat obat sebanyak 13 bungkus. Dia minum 13 butir sekaligus. Langsung muntah mual dan rasanya badan malah tak karuan. “Ini minum obat bukannya enakan malah rasa mau mati,” katanya.
Itulah kenapa sebelum minum obat selalu kuperiksa dulu kandungan, kegunaan, dan efek sampingnya. Apakah cocok dengan kondisi tubuhku. Tiap orang kondisinya berbeda, efek obat juga bisa berbeda.
Dia konsultasikan soal efek obat pada dokter. Kini minumnya berjarak. Dan, setelah 10 Hari isolasi di RS, kondisinya sekarang sudah membaik. Sudah tak sesak nafas, tetapi masih batuk. Dia bilang, “Setelah mengerasain sendiri sesak nafas kayak mau mati, aku baru sadar kalau Covid-19 itu nyata. Gak mau lagi gini.”
(Dikutip dari laman FB Leyla Almuhsin)