Oleh: Qodja
Tadi malam adalah peristiwa penting dari hidup saya dan mendesak untuk diumumkan di FB ini. Seluruh dunia harus tahu.
Sepekan yang lalu saya terhasut oleh teman yang sedang liburan studi dari sebuah negara yang impor indomie tapi rasanya hambar, tidak seenak indomie di Indonesia sebagai negeri asal (home country) komoditas ini.
Argumentasinya karena indomie di negara tempat ia belajar tidak membolehkan micin dikonsumsi berlebih dan hanya boleh terbatas. Setelah menjelaskan panjang lebar dengan bahasa ilmiah dan ragam istilah medis, ujung kesimpulan yang saya tangkap : Micin membikin bodo’
Saya percaya teman ini bukan karena ia kandidat master sains di kampus ternama dari negara maju, tapi karena integritasnya selama ini yang diuji lewat kiprahnya sebagai artisan makanan sehat tanpa micin. Ia punya bahasa menarik soal makanan, cara makan akan menentukan kualitas suatu bangsa. Bernalar dengan pangan.
Setelah mengaplikasikan ilmu bernalar dengan pangan dari teman ini, tiap kali makan saya mengatur ritme dan menghitung kadar dari asupan yang masuk ke tubuh : karbohidrat, protein, lemak dll.
Hingga tadi malam, segala komitmen untuk makan tanpa micin terpaksa saya langgar. Di samping untuk menyelesaikan polemik micin yang berujung perdebatan tak berkesudahan, Saya kembali kepada identias asli sebagai bangsa yang tumbuh bersama micin, indomie adalah legenda yang jadi teman setia warga dari semua kelas di Indonesia.
Tadi malam saya tergoda oleh sajian indomie di Balai Kopi Jogokariyan yang kuahnya dicampur susu segar, ditambah irisan cabai rawit, wortel, dan sawi. Saya merasa kembali ke akar, mengecap cita rasa yang selama ini begitu akrab di lidah. Sungguh micin adalah keajaiban dunia.
Saya bangga menjadi bagian dari generasi micin!