Oleh: Ambaryani
Sudah lama saya perhatikan halaman tetangga-tetangga di Teluk Nangka. Ada kesamaan jenis tanamannya. Kedondong mini.
Sudah lebih sebulan pohon kedondong tetangga-tetangga Teluk Nangka berbuah lebat. Tapi rasanya selama itu juga buah-buah itu masih ada di pohonnya. Tidak banyak berkurang. Seperti tidak dipetik.
Saya tak tahu sebabnya. Apakah warga setempat tidak suka dengan buah yang asam, memiliki aroma khas jika dikupas plus garing renyah ini? Terus terang, sejak di Kubu saya jadi hobi makan buah ini.
Saat di Pontianak, saya kurang tertarik. Saat suami menawarkan akan menanam jenis tanaman ini di halaman rumah, saya menolak dulu. Karena memang dulu saya tidak suka. Tidak begitu menikmati.
Setelah kerja di Kubu, lain cerita. Sudah ada 1 pohon ditanam di halaman belakanng rumah Pontianak. Kemudian sekarang, saya jadi gandrung dengan buah yang sering dibuat rujak dan manisan ini. Tekstur garing, renyah, kriuk-kriuk di makan langsung. Apa lagi di depan rumah Teluk Nangka ada 2 pohon.
Sepulang kerja, lesu, lelah, ngantuk, kalau ketemu dengan buah ini, aroma segar buah dan daunnya membangkitkan semangat. Rasanya ada energi lebih muncul. Ngantuk minggat. Entahlah kenapa begitu. Tapi itu yang saya rasakan saat sudah menikmati buah ini. Rasanya agak aneh, sedikit ajaib.
Ada sesekali saya lihat penjual sayur keliling menjual buah ini. Di gantung di dalam kresek. Kabarnya pedagang membeli dari petani hanya Rp. 3.500 saja.
Hm…murahnya.
Warga banyak yang nanam kedondong mini, tapi nampaknya mereka tak suka memakannya. Buktinya, hingga hari ini, buah kedondong mini di pohon masih lebat. Padahal buahnya sudah tua. Bahkan sudah ada yang mulai masak. Sudah seharusnya dipetik.
Dibandingkan kedondong di depan rumah yang saya tinggali di Teluk Nangka, malah sudah berbuah lagi. Musim buah berikutnya.