Oleh: Mita Hairani
“Jangan buat kamek cerite tentang ayah ye,” ujarku saat teman-teman di club yakni Khatijah dan Novie sedang membicarakan tulisan Khatijah tentang ayah.
“Iye lah iye lah,” balas Novie mengerti.
Ia tahu bahwa aku tidaklah seberuntung orang lain yang masih memiliki ayah yang menyambut kepulangan mereka dari kuliah dan segudang aktivitas sebagai mahasiswa. Ayahku sudah meninggalkan dunia sekitar 10 tahun yang lalu dan hingga sekarang, ibulah yang menjalani dua peran terpenting dalam hidupku.
Mereka masih membicarakan tentang ayah sehingga aku yang penasaran menghampiri mereka berdua dan tanpa sengaja melihat isi laptop Novie. Ya, Novie sekarang sedang mengetik tentang ayah.
“Apakah ini hari ayah? Memangnya sejak kapan ada penetapan hari ayah secara resmi seperti halnya hari ibu,” tanyaku dalam hati.
“Mita sih maseh nyaman bise ngeliat ayahnye kan?” balas Khatijah.
Tijah pun mulai bercerita tentang ia yang iri melihat anak dapat bercengkrama dengan orang tuanya, tentang cerita teman-temannya mengenai ayah mereka. Ayah yang bersikap manis dengan anaknya, mencoba memenuhi permintaan anaknya, mengantar anaknya kuliah dan berpergian, menelepon anaknya saat baru saja sampai dan sejuta bentuk perhatian ayah yang tidak didapatkannya dari semenjak ia membuka mata di dunia ini.
Aku yang mendengarkannya sedapat mungkin membendung air mata yang hendak keluar dari pelupuk mata, kubuka website teraju denga laptop yang sedari tadi aku gunakan untuk mengetik karena rasa penasaran yang memuncak.
“Ape namenye Novie,” tanyaku.
Dengan cepat aku mencari judul yang telah diberitahukan Novie sebelumnya dan langsung kubuka. Belum sempat aku membacanya, air mataku sudah tak mampu lagi terbendung.
“Ngape Mita, nanges gare-gare tulisan kamek ke?” tanya Tijah.
“Tadak Jah, ingat same bapak Mita,” jawabku sekenanya.
Belum sempat aku membaca tulisan Tijah memang aku sudah menangis duluan karena mengingat segala kenangan yang setidaknya masih ditinggalkan ayahku sebelum beliau meninggal, benar yang dikatakan Tijah, dulu ayahku sangat pengertian padaku, menjemput ketika aku pulang sekolah, memujukku ketika aku menangis, hingga memarahiku saat aku berbuat kesalahan. Semua kenangan itu setidaknya masih sempat “Ua’” tinggalkan untukku sebelum Allah memanggil beliau.
Namun tak dapat aku pungkiri bahwa aku juga masih merindukan kasih sayang seorang ayah. Sama seperti halnya Khatijah, aku juga iri ketika teman-temanku menceritakan tentang ayahnya, tentang perhatian yang dicurahkan kepada mereka bahkan melalui sikap overprotective maupun kemarahan.
Aku teringat ketika aku datang ke rumah salah satu temanku dan menjumpai ayah dan ibunya di sana. Mereka berdua baru pulang dari ladang dan menghidangkan durian dan rambutan kepadaku.
Aku melihat temanku itu sedang berdiskusi dengan santai tentang pernikahannya kepada ayahnya. Ayahnya terdiam sejenak tampak berpikir dan kemudian memberi tanggapan dengan serius. Beberapa menit kemudian ayahnya bergurau tentang calon suaminya, ia pun meminta perlindungan kepada ibunya yang ternyata membela ayahnya hingga suasana tampak menyenangkan.
Aku tersenyum lebar melihat mereka, namun jauh dalam hatiku rasanya teriris. Jika “Ua’” masih hidup, tentu kami akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan temanku itu. Tentunya “Emak” akan tersenyum dan membela “Ua’”saat kami sedang berdebat. Tentunya aku akan merengek meminta uang jajan setiap hari dan menceritakan apa yang ingin aku dapatkan, tentunya aku akan berdiskusi tentang masa depan seperti apa yang diinginkan keluarga dan diriku sendiri. Tentunya…. akan ada banyak yang dapat aku lakukan dan dapat aku rengekkan dengannya.
Sekarang waktu tak akan memberiku hal yang sama. Keadaan sudah berubah dan aku harus cukup tahu diri bahwa aku berbeda dengan mereka. Namun aku masih punya satu satu hal yang paling berharga dalam hidupku yang harusn ya tidak aku sia-siakan.
Dia yang memainkan semua peran dalam kehidupan demi anaknya.
Dia yang rela bangun subuh setiap hari demi anaknya.
Dia yang selalu menjadi teman setia dan pendengar yang baik.
Dia yang selalu mengoceh dan “beleter” untuk kebaikan anaknya.
Dia yang selalu ada bahkan meskipun kita tiada.
Aku masih punya dia.
Dialah emak ibunda tercinta.