Oleh: Yusriadi
Sudah sejak beberapa bulan lalu saya melihat dan mendengar orang sibuk dengan “keladi”. Keladi sedang jadi pusat perhatian para penggemar.
Selama ini, saya hanya melihat sambil lewat. Tidak memutarkan kepala, dan apalagi langkah. Saya sama sekali tidak tertarik dan tidak ingin tertarik.
Saya kira, demam keladi akan sama seperti demam batu dahulu—5 tahun lalu. Kala itu, banyak orang gila pada batu. Batu…batu…batu… Batu dicari, digosok, ditimang, dibicarakan…dihargai…Bahkan, saya masih terasa geli…batu di teras rumah kami dicongkel, diambil dan digosok.
Harga batu menjadi gila-gilaan. Jutaan, dan puluhan juta. Tak sayang menukarnya dengan rupiah. Yang menarik, batu-batu yang semula tak bernama menjadi perhatian dan diberikan nama baru. Nama yang asing di telinga saya.
Lalu, tiga pekan lalu saya baru menyadari demam keladi. Orang membicarakan keladi, mengembangannya dan memperjualbelikan…Tiba-tiba keladi menjadi berharga.
Awal bulan lalu saya berada di Kapuas Hulu. Di sana, di banyak rumah orang saya melihat pajangan keladi aneka bentuk dan rupa. Mulai dari harga murah—biasa saja, hingga yang harganya jutaan. Sebagiannya memang “canteeekkk ee…”
Ketika sempat datang ke Ulu Boyan tepatnya ke Nanga Jemah, saya seperti dibawa masuk ke dalam dunia keladi. Orang di sana sedang memanfaatkan kesempatan demam keladi orang kota. Keladi-keladi yang selama ini tumbuh terbiar di hutan, dibawa pulang, dimasukkan ke dalam polybag, dan siap menunggu pembeli dari kota. Sudah ada orang yang membeli. Satu keladi dengan satu daun Rp5 ribu. Dua daun Rp10 ribu, dan seterusnya… Ada jenis keladi tertentu diharga tinggi.
Warga merasa sangat bersyukur dengan munculnya virus keladi ini. Maklum, keladi menjadi tambahan penghasilan bagi mereka.
Tentu demam ini juga membuat saya merasa aneh dan geli (lucu) juga. Aneh… Keladi hutan dibeli. Aneh lagi barang yang tumbuh alami di hutan, yang pernah diperhatikan, tiba-tiba bernilai tinggi.
Bahkan yang membuat saya senyum-senyum, gara-gara demam keladi, saya mencoba menyusuri belukar di belakang rumah. Di sana ternyata banyak juga jenis keladi. Kami—saya dan beberapa teman, memperoleh dan mengambil enam jenis keladi. Tapi sayangnya, dari enam jenis itu hanya satu yang punya nama: keladi rusa’. Jenis keladi yang berdaun lebar dan lembut, yang diumpamakan daun telinga rusa. Saya mencoba bertanya pada orang-orang yang sempat ditemui, mereka juga tidak tahu nama keladi-keladi itu.
Tapi, wis, di Nanga Jemah, keladi yang tak diketahui namanya di Riam Panjang, sudah ada namanya. Ada red…pink.., dan entah apa lagi… saya lupa karena tak mencatatnya. Mereka mendapat nama itu dari pembeli.
Saya kira, demam keladi akan menjadi babak baru untuk memberi nama keladi-keladi lokal. Sesuatu yang juga aneh dan membuat geli. Ha ha ha…(*)