Oleh: Novie Anggraeni
Banyak sekali cerita kalau sudah mengingat masa kanak-kanak dulu. Ya, masa kecil yang bahagia, yang hari-harinya diisi dengan bermain bersama teman-teman sebaya. Ada banyak hal yang dapat dilakukan. Sederhana saja, tanpa memerlukan biaya, apalagi teknologi canggih.
Saya pun teringat dengan masa kecil saya bermain pondok-pondokan (rumah-rumahan) di sebuah bangunan pos kamling di depan rumah nenek. Pos itu sudah lama tidak berfungsi. Maka, jadilah saya dan teman-teman bermain di sana.
Pos itu bertingkat dua, di bawah kami anggap sebagai teras. Sedangkan di atasnya kami anggap kamar dan dapur. Saya ingat masa itu saya masih SD main pondok-pondok dengan Sela dan adik saya Deli. Kami membawa berbagai macam peralatan untuk bermain. Ada kain sebagai selimut, bantal, permainan alat dapur, dll.
Seringkali saya dan adik saya membawa kain lebih. Agar kain itu bisa kami buat menjadi kelambu. Kami tidak bisa memasak betulan, karena bisa-bisa nanti kami diteriaki, sebab dianggap ingin membakar pos itu.
Sangat menyenangkan rasanya. Kami seperti berperan sebagai anggota keluarga. Jadi, kami anggap saja bahwa kami ini adalah keluarga yang tinggal dalam suatu rumah. Saya sebagai ibunya, sedangkan Sela dan Deli sebagai anak saya. Kalau diingat-ingat terasa lucu dan menggelikan hati saya.
Tapi, itulah jalan pikiran anak kecil. Penuh kreativitas dan tanpa batas. Mereka juga bisa mencontoh dan menerapkan apa yang mereka lihat, amati, dengar dan pahami ke dalam dunianya.
Namun, terkadang orang tua sering salah kaprah dan lebih memilih anaknya menjadi anak yang penurut yang hanya diam di rumah dan menjadi anak yang biasa-biasa saja. Mereka terlalu khawatir kalau anaknya main di luar dan takut apabila terjadi apa-apa dengan mereka.
Padahal, lumrah saja kalau anak punya daya ingin tahu yang tinggi dan dapat melakukan apa saja dengan cara mereka yang terkadang tidak dipahami oleh orang dewasa.
Saya juga pernah mengalami hal itu. Nenek sangat khawatir dengan kami, sebab dia menganggap pos itu sudah rapuk dan berbahaya jika banyak bergerak di atasnya. Kami masih keasyikan main, maka dari itu kami tidak terlalu mengindahkan kata-kata nenek.
“Tadak bah Nek, Eni same Deli naek e pelan-pelan yak.” Elak saya, apabila dilarang main di pos.
Nenek pun masih membiarkan kami main di pos itu.
Di hari selanjutnya, nenek kembali memberi nasihat dan melarang kami main di pos. “Maseh berani kau maen sanak tuh. Ade sarang penyengat (lebah) situ tuh.” Ucap Nenek menakuti saya dan Deli.
“Benarlah Nek?”
“Iye” jawab Makya. “Maen agiklah kau ke sanak, biar kena’ sengat nanti.” Sambungnya lagi.
Mendengar ucapan nenek dan Makya, kami pun enggan untuk bermain di pos itu lagi karena takut dengan penyengat (lebah). Namun, karena rasa penasaran yang tinggi, saya sempat nekat ingin melihat sendiri sarang lebah yang dimaksudkan Nenek. Diam-diam saya pergi dan naik ke atas pos itu. Dan ternyata, tidak ada apa-apa. Ya, itu hanyalah taktik nenek agar kami tidak bermain di pos kamling itu lagi. (*)