Oleh Hermayani Putera
September 2012. Genap setengah abad kiprah WWF di Indonesia. Khusus bagi diriku, ini adalah tahun ketiga belas menjadi bagian dari organisasi ini. Sejak bergabung akhir tahun 1999, diskursus tentang “masyarakat dan konservasi” ataukah “masyarakat dalam konservasi”, selalu menjadi pembahasan menarik. Kegiatan konservasi dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) sering dihadapkan pada kutub “pro-manusia” versus “pro-lingkungan”.
WWF-Indonesia mencoba ‘mempertemukan’ kedua kutub itu, tidak meletakkan keduanya pada posisi yang diametral, berhadapan satu sama lain. Laporan internal WWF dalam 20 tahun terakhir menegaskan bahwa organisasi konservasi ini mengalokasikan lebih dari 50 persen sumber daya manusia dan finansialnya untuk bekerja bersama masyarakat.
Gambaran di atas di satu sisi menunjukkan betapa kompleksnya ruang lingkup pengelolaan SDA. Namun demikian, di sisi yang lain sebagian pelaku pembangunan masih mengabaikan filosofi dasar kearifan lokal: masyarakat selalu berakar dan tergantung hidupnya dari sumber daya alam yang lestari.
Kondisi ini menjadi pemantik awal diskusi bersama dua staf senior WWF, yakni Ibu Cristina Eghenter dan Mas Israr Ardiansyah. Kami cukup intensif membahas penegasan posisi WWF ini, khususnya dalam momen mensyukuran 50 tahun WWF berkarya di Indonesia.
Kami bertiga akhirnya memutuskan ingin memberi kado spesial berupa buku berisi kumpulan cerita teman-teman WWF-Indonesia. Kami kemudian berbagi peran dan menjadi editor bersama bagi penerbitan buku yang berjudul “Konservasi dan Masyarakat: 50 Kisah yang Menginspirasi dari WWF untuk Indonesia”.
Aku meminta Bung Jimmy Syahirsyah, sahabat bekerja di Kalbar, untuk memilihkan foto terbaik yang bisa mewakili narasi besar masyarakat dan konservasi. Jimmy memilih foto seorang nenek di pedalaman Kalimantan yang sedang menimang cucunya sambil menganyam tikar dari rotan. Foto yang sarat pesan.
Cristina Eghenter adalah seorang antropolog, lama melakukan riset antropologi serta aktif dalam beberapa program penguatan masyarakat dan pembangunan sosial (community empowerment and social development) di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Utara. Adapun Israr Ardiansyah pernah menjadi jurnalis di koran berbahasa Inggris The Jakarta Post dan ikut terlibat dalam gerakan Indonesia Mengajar bersama Anies Baswedan.
Buku berisi lima puluh tulisan memperingati 50 tahun WWF-Indonesia ini mengumpulkan pengalaman staf WWF bekerja bersama masyarakat. Kami sepakat menghindari tulisan yang sangat teknis, karena pasti akan membosankan bagi yang membacanya.
Temanya beragam, kaya akan pendekatan dan strategi dalam mengatasi berbagai dinamika di lapangan. Diawali kisah konservasi badak di Ujung Kulon pada 1962 sebagai awal aksi konservasi WWF di Indonesia, buku ini mencoba memaparkan perjalanan WWF mengembangkan paradigma konservasi secara terpadu, berbasis riset dan penelitian guna merumuskan strategi konservasi yang lebih mendalam dan utuh.
WWF juga memberi masukan bagi pengelolaan kolaboratif taman nasional, yang menegaskan posisi dan peran masyarakat sebagai aktor kunci pengelolaan kawasan yang efektif. Di beberapa lokasi, WWF juga melakukan pemetaan partisipatif sebagai alat menuangkan kawasan-kawasan yang bernilai penting tidak hanya secara ekonomi, melainkan juga ekologi, sosial, kultural, dan spiritual bagi masyarakat.
Pesannya jelas: kearifan lokal dan adat adalah komponen penting pengelolaan SDA dan kawasan konservasi. Selain itu, pemanfaatan jasa lingkungan juga menjadi dasar bagi masyarakat dalam mengembangkan sumber penghidupan yang lebih adil dan lestari.
WWF tidak selamanya hadir dan bekerja di satu wilayah tertentu. Karenanya, dalam buku ini kami juga menghadirkan cerita upaya WWF melakukan strategi pengakhiran program. Strategi itu mencakup advokasi kebijakan hukum formal guna menguatkan peran masyarakat termarjinal, dan mengembangkan organisasi dan kepemimpinan di tingkat lokal. Strategi lainnya adalah mendorong dunia usaha dan pelaku bisnis di tingkat masyarakat mengadopsi prinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan.
Di beberapa lokasi kerja WWF, proses ini berjalan baik dan menampakkan hasil cukup baik. Masyarakat terlibat menginisiasi dan mengelola program konservasi serta mengembangkan bisnis yang lebih adil dan lestari. Pada berbagai tempat, mereka mampu mengidentifikasi dan mengkomunikasikan isu strategis konservasi dan aspek terkait dalam kehidupan sehari-hari melalui pengembangan media yang sangat efektif, seperti fotografi berbasis masyarakat dan radio komunitas.
Mengingat hampir 70 persen wilayah kerja WWF-Indonesia beririsan dengan peta potensi bencana yang dirilis pemerintah, strategi pencegahan dan pemulihan bencana berbasis ekosistem juga menjadi kepedulian WWF. Masyarakat menjadi pelaku utama, sejajar dengan pemangku kepentingan lain, mulai dari penyusunan hingga penerapan strategi mitigasi bencana.
Segenap inisiatif dan strategi kerja keseluruhan yang diceritakan ini semuanya dilakukan dengan semangat sinergi dan kolaborasi bersama masyarakat, pemerintah, LSM, media, perguruan tinggi, para relawan, donor, swasta, seniman, budayawan dan elemen strategis lainnya.
Kebahagiaan kami menjadi sempurna ketika CEO WWF-Indonesia Pak Efransjah, Direktur Komunikasi Mbak Devy Suradji, dan Ketua Panitia 50 Tahun WWF-Indonesia Kang Irwan Gunawan setuju untuk menyisipkan peluncuran buku ini dalam rangkaian syukuran 50 tahun konservasi WWF di Indonesia di Ancol, Jakarta pada bulan September 20112, yang dihadiri lebih dari 400 staff WWF dari seluruh lokasi kerja.
Ada benang merah dari semua yang dilakukan WWF selama lima dekade ini. Strategi konservasi harus bertransformasi menjadi sebuah strategi kebudayaan, perlu bersepakat dengan strategi sosial, bersinergi dengan strategi pembangunan ekonomi, dan membutuhkan komitmen politik yang memadai.
Jika ini terwujud, masyarakat tidak akan ragu mencurahkan seluruh potensi energi sosial mereka dan menjadi penjamin utama bagi inisiatif konservasi dan praktek pembangunan berkelanjutan di wilayah mereka.
Salam Lestari, SalamLiterasi
#MenjagaJantungKalimantan, #KMOIndonesia, #KMOBatch25 #Sarkat, #Day8, #hermainside, #SalamLestariSalamLiterasi