Oleh Masri Sareb Putra
Menjelaskan filosofi, atau esensi, hakikat, tidak mesti menggunakan kata dan kalimat yang mengerutkan dahi. Bisa dengan cerita, sindiran, bahkan anekdot.
Orang tua zaman dahulu bahkan dengan cerita, legenda, dan mitos. Kadang bahkan dengan canda dan gurauan. Tidak jarang, filosofi dinarasikan melalui anekdot.
Bukan pada bahasa atau rumusannya di dalam menyampaikan inti gagasan/ pesan. Melainkan pada sisi komunikatifnya. Bagaimana isi pesan sampai, mudah diingat dan sampai ke khalayak.Mula-mula dari kognitif (pengetahuan, kesadaran), kemudian emotif (merasa/ empati), lalu motorik (menggerakkan) dan mengubah hidup. Anekdot. Begitulah cara kerjanya.
Seperti kisahan singkat yang berikut ini. Tentang Tanah Adat di bumi Borneo.
Salah satu syarat-wajib menjadi seorang penulis adalah jujur menyebutkan sumber, bila itu bukan kisah anonim, atau bukan asli temuannya. Nah, jujur saya menyebut, anekdot ini ciptaan kawan rapat, teman main, sekaligus kawan kuliahku. Namanya: Nico Andasputra. Anekdot ini saya bahasakan-kembali dan kembangkan.
Nico suatu waktu cerita yang bikin saya ngakak. Baiklah saya parafrasakan:
Suatu hari, ilmuwan atas pemintaan sebuah perusahaan raksasa membawa tanah Borneo untuk diteliti di laboratorium sebuah Institut Pertanian top di Jawa. Sesampainya di Lab, tanah sampel dari Borneo pun diteliti jenisnya apa.
Sudah 28 jenis tanah di Indonesia dimasukkan dalam komputer untuk diteliti apa jenisnya. Jawabannya sama: Tidak! Bunyi, “Ting” terdengar. Berarti jawaban telah mendekati.
Teknik maiutik, atau Socratic Inquiry mesti dilanjutkan, agar bertemu jawaban yang jitu. Dan terjadilah. Diketahui apa jenis tanah di Kalimantan, setelah lama mencoba meneliti di laboratorium.
Dimasukkan dalam komputer untuk diidentifikasi. Para peneliti cukup mengetik “jenis tanah”, lalu komputer menjawab Ya/Tidak. Karena Lab menggunakan uji secara komputerisasi, maka 28 jenis tanah diuji secara urut kacang, atau alfabetis, mulai dari jenis tanah abjad A.
- Aluvial: Jawaban komputer: Tidak!
- Andosol: Jawaban komputer: Tidak!
- Laterit: Jawaban komputer: Tidak!
- Laterit (Tanah Merah): Jawaban komputer: Tidak!
- Organosol: Jawaban komputer: Tidak!
- Podsolik Merah Kuning: Jawaban komputer: Tidak!
- Terarosa (Tanah Kapur): Jawaban komputer: Tidak!
- Vulkanis: Jawaban komputer: Tidak!
Begitu seterusnya, sudah 28 jenis tanah di Indonesia dimasukkan dalam komputer. Jawabannya sama: Tidak!
Maka menjadi bingunglah para tenaga laboran. Para profesor pakar pertanahan pun dipanggil. Mereka diskusi ramai sekali. “Tidak pernah kita uji-lab begini rumit. Hanya tanah Borneo yang aneh, gak masuk-masuk dalam daftar.”
“Ya, jangan-jangan ini tanah baru!” kata profesor yang lain.
“Coba ketik menu: Lain-lain!” usul salah seorang profesor tanah, kebetulan dia ini tidak linier, S-1nya Jurusan Mesin Fotokopi, S-2 Ilmu Ternak Jangkrik, S-3 Baru Ilmu Tanah.
Maka diketiklah “Lain-lain” dan komputer meminta: Isi sendiri jenisnya.
Diketik: Tanah Tuhan. Jawaban komputer: Tidak!
Diketik lagi: Tanah surga. Jawaban komputer: Tidak!
Lagi: Tanah Wakaf: Jawaban komputer: Tidak!
Lagi dan lagi diketik: Tanah sitaan. Jawaban komputer: Tidak!
Dicoba sekali lagi, jangan-jangan ini yang benar:
Tanah sengketa: Jawaban komputer: Tidak!
Tanah kuburan: Jawaban komputer: Tidak!
Tanah warisan: Jawaban komputer: Tidak!
Tanah Terjanji: Tidak ada jawaban. Terdengar “ting”. Seorang profesor yang cerdas menduga, jangan-jangan disuruh mengetik yang ke arah arah itu. Maka diketik:
Tanah air: Jawaban komputer antara Ya/Tidak. Ada bunyi “ting”, dan lampu kuning hijau berkedip-kedip. “Nah…. temuan kita mendekati!” seru para peneliti, girang.
Lalu iseng, seorang profesor yang pernah sekali datang meneliti di Kalimantan, yang sehelai pun tak ada lagi rambut di kepalanya, menghampiri komputer dan mengetik: TANAH ADAT.
Maka semua menjadi takjub. Lampu hijau menyala. Bersamaan dengan itu, muncul di layar komputer jawaban:
YA
Tepuk tangan pun membahana di lab itu.
**
Semacam satir ini diterbitkan dalam kumpulan bahan ketawa “Mati Ketawa ala Dayak”. (Penulis adalah pegiat literasi Dayak, menetap di Jakarta)