in

Rekayasa Ekosistem

IMG 20210204 WA0028

Teraju News Network – Kami meyakini jika untuk makan itu mudah, masyarakat akan mampu melakukan hal yang lebih bermakna dan bernilai. Lalu segala potensi kebaikan di masyarakat akan hadir dengan sendirinya

Tadi malam berdiskusi dengan pimpinan pondok yang datang ke Masjid Berkah Box Balikpapan. Dewan pimpinan sebuah pondok, insyaAllah saudara-saudara kita ini adalah orang berilmu yang siap mengabdi untuk ummat.

Dari obrolan itu didapat sebuah kesimpulan, membangun wahana pendidikan untuk generasi itu sebenarnya mudah. Gedungnya alhamdulillah sudah wakaf, untuk kafalah ujroh para guru bisa diusahakan dari infaq, tinggal operational makan tiga kali sehari yang cukup besar, jika hal ini ada yang support gratis, masalah selesai.

Bayangkan jika wahana pendidikan berbasis pondok ini merebak di setiap masjid. Gratis. Fasilitas gedungnya wakaf dari ummat, operasional guru dari infaq, makannya dari entitas yang memang siap menyediakan makanan, insyaAllah para ‘alim ulama gak akan sungkan membangun Pondok.


Mari kita bahasa benefit model seorang penulis buku. Mereka harus nulis buku dulu, lalu diajukan ke penerbit atau diterbitkan sendiri, lalu dijual. Berarti baru ada cashflow ketika bukunya terjual.

Pertanyaannya, bagaimana makannya sang penulis, jika dia harus menyelesaikan kitabnya dalam kurun waktu dua sampai lima bulan?

Akhirnya banyak dari mereka yang bisa menulis, harus memilih untuk tidak menulis, karena harus kerja cari makan setiap hari. Akhirnya masyarakat kehilangan value seorang penulis.

Bayangkan jika setiap masjid memiliki dapur umum, gratis makan tiga kali sehari, maka seorang penulis bisa numpang makan dulu di masjid, sampai bukunya jadi dan terbit. Dan insyaAllah, ketika ada cashflow, orang yang hatinya baik pasti akan menyumbang kembali ke dapur umum.


Banyak ulama muda yang siap mengabdi ke masyarakat. Saya sudah sering ketemu anak muda yang hasratnya mengajarkan Al Quran, bahagia jika anak-anak kecil bener bacaan Qur’an nya. Kebahagiaannya menerima setoran hafalan Al Quran.

Di titik mereka ini, bahkan kompak suami istri, keduanya sudah mewaqafkan hidupnya ke dakwah.

Hmmm, jangan samakan nafsu dunia kita dengan mereka ini, mereka ini asal ada hunian, ada tempat berteduh, walau bedeng GRC gypsum, lalu bisa makan, mereka siap mengajarkan kebaikan.

Karena keberadaan masjid dengan dapur umum ini masih jarang, yang menyediakan nasi box gratis masih jarang, maka lapisan segmen ini gak bisa fokus ngajar, harus jualan, supaya ada cashflow.

Andai kata ngajar pun, hanya bisa mengajar ke peserta belajar yang bisa bayar. Inilah penyebab TPA berbayar, TPQ beriuran, apa-apa kegiatan belajar Islam semua ditarif. Boleh sih, boleh aja. Halal aja. Tapi kalo semuanya berbayar, yang gak bisa bayar gimana hak nya atas ilmu?

Padahal ilmu ini hak. Berhak diakses oleh siapa saja.

Lagi-lagi berantakan karena urusan bertahan hidup cari makan.


Riset penelitian adalah kerja panjang keilmuwan. Sangat tidak komersil, karena gak setiap yang diteliti itu bisa diduitin atau jadi hak paten. Banyak kerja riset yang outputnya adalah hasil temuan keilmuwan, yang bisa jadi sangat dibutuhkan masyarakat.

Kita sebagai anak bangsa ini sebenarnya membutuhkan analisa sejarah besar bangsa ini. Sejak zaman Sriwijaya hingga Majapahit, masuk Kerajaan Demak hingga Mataram Islam. Kita harus ngerti bahwa kita ini adalah bangsa yang identitasnya besar.

Bagi saya secara pribadi, riset sejarah ini mandeg. Sosialisasinya ke publik juga mampet. Semua ini karena riset ini susah jadi harapan untuk bertahan hidup. Karena bingung meng uangkannya gimana?

Akhirnya generasi hari ini lembek, inferior, gak percaya diri, karena gak ngerti identitas dirinya. L

Beda kayak riset produk, riset teknologi, nge duitinnya enak, apalagi jika yang memodali riset swasta.

Nah, kalo ada supply makan gratis, para sejarawan ini bisa bergerak melakukan penelitian, gak usah khawatir gak bisa makan, tinggal nempel di masjid, nunggu jam makan, lalu makan bareng. Beres.


Kita belum lagi bicara tentang bank keliling rentenir ribawi yang bunganya tiga puluh persen per bulan. Kok bisa-bisanya masyarakat kita mau ambil begituan.

Ya alasannya mudah, karena mereka butuh makan, butuh beli beras, beli gas melon ijo, butuh beli lauk, keluarganya harus makan.

Cobalah imajinasikan, kalo makan itu mudah, makan itu tersedia terus gratis, insyaAllah gak akan laku ini para rentenir. Kehidupan masyarakat itu bisa lebih sehat.


Kami meyakini bahwa menyediakan makan gratis ini adalah REKAYASA EKOSISTEM.

InsyaAllah jika semua kita istiqomah, pengelola filantropinya istiqomah, donaturnya istiqomah, masjid-masjid juga istiqomah bergerak, maka masyarakat kaum muslimin ini akan lebih berkualitas hidupnya. Karena urusan makan sudah selesai, masyarakat akan bergerak ke hal-hal yang fundamental.

Hari ini semua orang bergerak komersil, fokus berjual beli, padahal kita butuh lapisan segmen masyarakat yang mengabdi ke masyarakat, yang ngabdi ke ummat, yang kehidupannya di back up oleh supporter, bukan minta balas harga ke objek yang dilayani.

Kita butuh sekolah-sekolah yang gratis. Kita butuh Rumah Sehat layanan kesehatan yang gratis. Kita butuh mengadakan kelompok-kelompok pengajian Quran yang Free untuk masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah, jangan lagi tarik-tarik iuran ke santri kelas ekonomi bawah.

Semua ini kuncinya di sistem bertahan hidup. Sediakan makan gratisnya. Sediakan santapan gratisnya. Konsisten setiap hari. Terbuka ke semua orang. Hingga siapapun bisa makan, apapun pilihan perjuangan hidupnya.

URS – Berkah Box Indonesia

Dokumentasi Dapur Masjid Berkah Box, Balikpapan, KM11 Karang Joang, insyaAllah memproduksi sekitar kurang lebih 1.600 nasi box per hari, dari 4.000 nasi box distribusi nasional per hari.

Dukung dan bersamai Berkah Box, silakan berinfaq via WA di http://bit.ly/donasiberkahbox (Rilis)

Written by teraju.id

IMG 20210204 WA0012

12 Tahun Membangun Poros Pontianak-Jerman

IMG 20210204 WA0082

Ikan Cupang Bang Yanda