Istilah milenial dekat terdengar di telinga dalam beberapa tahun ini. Hal ini dilatarbelakangi oleh teknologi yang dari masa ke masa mengalami perkembangan. Berdasarkan publikasi resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) menyebutkan bahwa istilah milenial diprakarsai oleh William Strauss dan Neil Howe, pakar sejarah dan penulis Amerika. Kecakapan dalam bidang digital adalah alasan generasi milenial muncul di permukaan bumi.
Sejatinya produk teknologi yang dihasilkan dari waktu ke waktu mengikuti gaya hidup masyarakat milenial. Sehingga secara tidak langsung mengubah tatanan hidup dan karakter masyarakat. Efek digital sebagai produk teknologi memiliki dua sisi yang tidak bisa dihindari. Dampak positif hanya bisa diperoleh dengan adanya kecakapan pedagogis, tetapi apabila bekal ini tidak dimiliki oleh seseorang, tidak mustahil ia akan terjerumus pengaruh negatif.
Satu di antara pengaruh negatif teknologi digital adalah tontonan. Meminjam istilah Ericsson, Streaming Native atau menonton video dalam jaringan. Ericsson mencatat remaja 16-19 tahun menghabiskan waktu rata-rata tiga jam sehari di depan perangkat mobile mereka. Jelas tidak semua remaja mengakses tontonan mendidik. Apalagi usia transisi remaja yang ingin mengetahui banyak hal. Tidak jarang di antara mereka membuka video atau situs tidak senonoh seperti pornografi. Masa pubertas kerap kali dihadapkan dengan keinginan mengenal lawan jenis dan membangun hubungan. Andai streaming native tidak dibendung, remaja milenial terjatuh dalam pengaruh negatif teknologi yakni pernikahan dini.
Pernikahan dini secara sederhana dapat diartikan sebuah ikatan suami-isteri antara laki-laki dan perempuan di bawah umur di luar ketentuan hukum yang berlaku. Berdasarkan data media online disebutkan bahwa Indonesia menduduki posisi ke-7 dunia dan ke-2 ASEAN angka pernikahan dini. Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada Januari 2017 tercatat Sulawesi Selatan sebagai provinsi dengan angka pernikahan dini tertinggi. Pun disebutkan bahwa 22,82 persen penduduk Indonesia menikah di bawah 18 tahun.
Sudah semestinya generasi milenial mengendalikan teknologi agar tidak mengarusi terjadinya menikah karena kecelakaan sehingga terjadi pernikahan dini akibat salah tontonan yang merangsang hasrat seksual. Menurut Mubasyaroh di antara dampak-dampak yang ditimbulkan oleh pernikahan dini adalah pendidikan anak terputus, kemiskinan karena pelaku belum mampu menafkahi keluarga barunya, kekerasan dalam rumah tangga karena kurang dewasa, terganggunya kesehatan psikologis karena hukuman sosial, anak yang dilahirkan (prematur), kesehatan reproduksi dapat memicu risiko komplikasi medis. (Mubasyaroh, 2016)
Akibat Krisis Beragama
Apabila dilihat dari sudut pandang agama, menikah adalah kegiatan sakral yang sangat dianjurkan. Selain melanjutkan keturunan juga membina seseorang menuju pendewasaan dalam mengarungi roda kehidupan berkeluarga.
Menikah muda sejatinya sangat dianjurkan oleh agama apabila memenuhi syarat (mampu). Perkara ini berangkat dari penjagaan muruah seorang remaja dalam pergaulannya supaya tidak salah haluan. Namun, kenyataan berkata lain, data-data yang ditunjukkan oleh pemerintah maupun pengamatan langsung memperlihatkan kemirisan.
Kasus-kasus menikah muda lebih kepada menikah di bawah umur di luar ketentuan hukum negara. Kepercayaan yang dianut agama adalah mentaati pemimpin, sehingga jika seseorang tidak mengikuti aturan negara secara otomatis pun melanggar aturan agama.
Dampak teknologi yang dihadirkan bukan hanya positif, tetapi pun sebaliknya. Krisis keyakinan beragama ialah faktor utama lahirnya pernikahan dini. Harus diakui, teknologi digital lebih banyak menawarkan kenyamanan yang instan dan mudah diperoleh. Sehingga seolah kenyamanan tersebut mengalahkan segalanya. Kasus siswi SMP yang dianiaya oleh 12 siswi SMA di Pontianak baru-baru ini sudah cukup menjadi bukti betapa digital sangat memengaruhi karakter remaja. Disebut apalagi jika dugaan perlakuan bejat itu masih saja menampilkan sikap tidak bersalah dari pelaku kalau bukan karena tidak dibentengi oleh nilai-nilai beragama?
Solusi yang Diharapkan
Sudah semestinya pernikahan dini di luar aturan bernegara maupun beragama dientaskan. Jika tidak, arus teknologi akan menumbangkan moral generasi milenial. Menurut hemat penulis berdasarkan nalar pribadi dan pengamatan lingkungan bermasyarakat, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai alternatif preventif dan represif guna mencegah atau meminimalisir terjadinya pernikahan dini.
Pertama, Spiritualisasi Beragama Remaja. Spiritualisasi beragama merupakan pembentukan jiwa remaja untuk mengenal agama. Tidak ada kebenaran sejati selain didapat dari beragama (Islam). Spiritualisasi beragama ditempuh dengan pembentukan kajian-kajian intensif yang diarahkan oleh orang tua remaja maupun lembaga tempat bersekolah. Peran orang tua sangat vital untuk mengendalikan dan mengawasi anak-anaknya berselancar di media dalam jaringan (online).
Kedua, Peran Pemerintah. Dalam bernegara peran pemerintah adalah hal utama menentukan kebijakan. Melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggalakkan program kerja nyata. Tidak cukup dengan sosialisasi saja, pun mengutamakan pengawasan di semua wilayah. Faktanya berbagai kasus yang terjadi utamanya dikarenakan sosialisasi tanpa pengawasan lanjut.
Selain itu, pemerintah setempat membuat regulasi pergaulan bersama kesepakatan orang tua remaja. Acara hiburan dan tempat-tempat tidak bertanggung jawab harus ditutup. Meski sesederhana itu, masih banyak yang tidak bisa menerapkan karena bermacam alasan yang tidak logis.
Ketiga, Pemanfaatan Organisasi Pemuda Desa. Organisasi Pemuda Desa seperti Karang Taruna sebaiknya diarahkan oleh pemerintah dan kesepakatan masyarakat desa dijadikan sebagai wadah memberikan pendidikan kesadaran pernikahan dini. Berdasarkan pengamatan, Karang Taruna kebanyakan didominasi oleh perkumpulan pemuda dalam hal olahraga. Sehingga nilai-nilai karakter kurang terpatri. Realisasi ini dapat diaplikasikan melalui pertemuan rutin membahas pendidikan moral atau karakter dari pendidik.
Keempat, Rehabilitasi. Rehabilitasi yaitu pemulihan untuk perbaikan dari keadaan semula. Rehabilitasi dilakukan terhadap remaja yang sudah terlanjur menikah usia dini. Hal ini dilakukan oleh orang tua dan pemerintah. Melalui orang tua, remaja diberikan pendidikan berkeluarga dan difasilitasi proses pencarian nafkah terhadap keluarga barunya. Hindari mencaci maki anak sendiri, demikian itu justru merusak psikologis anak. Sadari bahwa keteledoran anak juga disebabkan pengawasan orang tua kurang tepat. Melalui kejadian tersebut, sepatutnya lebih mengedepankan pengajaran ketimbang memojokkan anak.
Oleh pemerintah, pelaku pernikahan dini jangan disanksi berat. Toh mereka berada di bawah umur. Hanya, berikan fasilitas berupa modal usaha beserta pengetahuan menjadi pengusaha supaya tanggung jawab mereka terhadap kesalahan sebelumnya tidak terbebani.
Semua solusi tersebut di atas hanya sekadar teori jika tidak diterapkan. Pun penerapannya tidak cukup sekadar mengharap kebijakan pemerintah, semua elemen masyarakat harus berkontribusi andil. Setiap orang pasti tidak menginginkan anaknya salah pergaulan apalagi menikah di bawah umur di mana kedewasaan belum matang. Bukankah demikian itu hanya mengundang persoalan lain yang berkepanjangan? Oleh karena semua orang sepakat, tidak ada alasan lagi selain bersama mengulurkan tangan untuk memberantas pernikahan dini yang merusa