Oleh: Juharis
Kemarin aku disuguhkan oleh status whatsapp teman berisi informasi bedah buku “Beragama dalam Kebingungan,” pematerinya penulis buku itu sendiri yang aku lupa namanya. Sebenarnya ingin ku mengikuti acara itu, mengingat sudah lama tak pernah lagi menghadiri diskusi dan bedah buku dikarenakan kesempatan yang tergadai oleh kesibukan lain. Meskipun pada dasarnya kesibukan bukanlah kilah yang sebenarnya, lebih tepatnya belum mampu memanfaatkan peluang yang ada.
Jadwal kuliah yang berbenturan dengan acara tersebut membuatku ragu untuk bisa hadir. Namun, tengah malam pikiranku berubah, aku berencana akan hadir pada acara itu. Malam yang telah berlalu disambut subuh pikiranku berubah lagi. Aku memutuskan tidak kuliah dan tidak datang di acara bedah buku. Aku berniat menyelesaikan laporan penelitian Kampoeng Riset yang batas akhir pengumpulannya jam 14.00, Jumat, 05 Oktober 2018. Banyaknya tulisan yang belum rampung menjadi dalih atas keputusan ku kali ini.
Sekitar pukul 08 pagi aku memulai menulis dan merevisi diksi-diksi dan kalimat yang ku anggap kurang tepat dan kaku. Lebih kurang 1 jam aku berhadapan dengan laptop. Ketika istirahat sejenak, aku membuka pesan whatsapp grup “Kampoeng Riset” dikirim oleh pak Zaenuddin. Di situ rupanya ditampilkan gambar acara bedah buku yang ku sebutkan tadi. Ada yang berbeda dari gambar tersebut, aku melihat ada pak Dedy Ari Asfar, pak Yusriadi dan pak Nur Iskandar. Sontak aku langsung menyimpan hasil ketikanku lalu mengambil handuk menuju wc untuk mandi. Iya, aku ingin segera terlibat dalam acara.
Ternyata ada dua buku yang dibedah, buku “Beragama dalam Kebingungan” dan buku karya pak Yusriadi “Ajarkanlah Anakmu Menulis.” Selesai mandi aku bergegas pergi, Apalagi pematerinya adalah mentor sekaligus penginspirasi literasiku selama ini, tidak lain pak Dedy Ari Asfar, semakin bersemangat ku dibuatnya. Pak Dedy karakternya kritis dan sangat mafhum soal tulis menulis. Aku juga mengagumi sosok pak Yusriadi seorang penulis dan dosen di kampus IAIN Pontianak. Walaupun sebenarnya aku sedikit kecewa, belakangan aku menghubungi pak Yusriadi melalui whatsapp dengan maksud meminta endorsement atau penilaian buku karya ku, tetapi tidak ada respon, sekadar dibaca saja. Tak mengapa, aku pikir beliau banyak kesibukan sehingga tak sempat dan atau kelupaan.
Sementara itu, pak Nur Iskandar, aku mengenalnya saat pertama kali mengirim tulisan di teraju.id. Awalnya aku mengira teraju.id adalah milik pak Yusriadi. Belakangan baru kuketahui setelah membaca kolom tentang penulis di bagian bawah di salah satu tulisannya. Kali pertama aku melihat secara langsung sosok seorang Nur Iskandar perawakannya cukup tinggi, lumayan kekar, bermata agak sipit, sepintas terlihat santai dan humoris.
Keberangkatanku menuju lokasi acara kira-kira pukul 09.20 Wib. Sesampainya di lokasi tepat ketika pak Dedy Ary Asfar tampil membedah buku pak Yusriadi “Ajarkanlah Anakmu Menulis.” Aku sudah tak heran lagi dengan pembawaan pak Dedy, diksinya dalam berbicara selalu berdasarkan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar apalah lagi dalam kepenulisan. Seorang penyuluh bahasa ini mempunyai cara berpikir yang berbeda dengan yang lain. Aku pernah membaca tulisan resensinya, kritiknya tajam dan analisanya mendetil.
Setibanya di ruangan aku langsung duduk dan mendengarkan pemaparannya. Tak lama setelah itu dilanjutkan dengan pemateri-pemateri yang lain. Aku pun terkagum-kagum ketika mendengar bahwa penulis buku “Beragama dalam Kebingungan” itu adalah 2 orang mahasiswa. Latar belakang mahasiswa tersebut berdasarkan informasi terlahir dari pendidikan bernotaben pondok pesantren. Beberapa pemateri yang lain memuji-muji karya mereka. Selamat! Sebagai mahasiswa aku tergairah untuk ikut menulis meskipun dengan gaya yang sederhana. Setidaknya berani mencoba dan berubah, seperti kata Najwa Sihab “hidup ini terlalu singkat jika dilakukan tanpa perubahan.”
Tiba pada sesi tanya jawab, banyak mahasiswa yang mengacungkan tangan. Iming-imingnya adalah diberikan buku bagi penanya terbaik. Faktanya diakhir acara semua yang bertanya diberikan buku. Ada dua sesi tanya jawab yang diberikan panitia. Aku masih mengambang, tak tau apa yang ingin ditanyakan. Sudah cukup banyak teori yang ku dapat tentang menulis dari pak Dedy, tinggal diaplikasikan saja. Soal motivasi jangan tanya lagi, kata pak Dedy “motivasi datang dari komitmen diri sendiri, memaksakan diri menulis adalah solusi. Perbanyak membaca untuk menemukan ide-ide yang tajam.” Tegasnya.
Sebenarnya aku pun ingin mendapatkan hadiah buku itu, tetapi hingga tanya jawab sesi kedua belum juga timbul bahan pertanyaan. Sialnya, pertanyaan itu baru muncul dibenakku setelah sesi kedua selesai. Aku baru teringat dengan ungkapan pak Dedy “Membaca adalah Katarsis” tafsirku terhadap kalimat itu adalah bahwa dengan membaca menghilangkan pikiran-pikiran buruk dan menyucikan rohani. Aku baru menyadari, selama ini sebelum menulis aku harus membaca terlebih dahulu. Tujuannya untuk menghilangkan isi tulisan yang salah kaprah dan cenderung mengandung kenegatifan. Sepertinya ini sudah menstigma dalam pola pikirku. Masalahnya, tulisan yang hendak ku buat lama terselesaikan. Aku merasa keadaan ini cenderung tidak efektif. Pertanyaannya adalah apa solusi atas permasalahan yang ku alami itu? Aku pun ingin menanyakan perihal bagaimana mengatasi rasa takut akan kritikan orang mengenai tulisan karya sendiri? Sebab aku agak rentan terkikis pesimisme jika dikritik orang lain.
Sayangnya, tatkala itu sudah memasuki sesi pemberian hadiah kepada mahasiswa yang bertanya, kesempatanku hilang karena unek-unek yang berjalan lamban. Semoga saja tulisan ini dibaca oleh pemateri, paling tidak dibaca pak Nur Iskandar selaku pemilik teraju.id. Harapannya bisa dijawab dikolom komentar agar kebimbangan yang selama ini dirasakan sirna.
Terakhir, salam buat pak Nur Iskandar. Terima kasih selama ini telah memuat beberapa tulisan saya di teraju.id. Saya sangat senang bisa terlibat dalam situs bapak. Meskipun tak pernah bertatap muka, kata tetaplah satukan kita. Salam Literasi..