Sembilan bulan sudah nahkoda pemerintahan berganti di Indonesia, dan sorotan tajam tak henti mengarah pada janji-janji yang terucap. Sebuah evaluasi mendalam, seperti yang diulas tuntas Prof. Mahfud MD di kanal Youtube-nya. Fokus utamanya: komitmen Presiden Prabowo dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Dengan tegas, Prabowo pernah bersumpah akan mengejar korupsi hingga ke “Antartika,” sebuah metafora yang menggetarkan, tertuang dalam bukunya “Paradoks Indonesia.”
Kini, setelah hampir setahun menjabat, pertanyaan menggelitik muncul: apakah janji itu hanya retorika belaka, ataukah gempuran korupsi benar-benar telah mencapai ujung dunia? Data faktual menunjukkan, setidaknya 16 kasus korupsi besar telah diusut sejak 20 Oktober 2024 hingga 1 Juli 2025, melibatkan Kejaksaan Agung dan KPK. Sebuah angka yang patut dicermati dalam evaluasi pemerintahan Prabowo.
Kasus Zarof Ricar: Jaringan Suap yang Menganga
Salah satu kasus korupsi yang mencuat dan menarik perhatian publik adalah skandal Zarov Ricar. Ia divonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar atas penyuapan Rp 5 miliar. Namun, yang lebih mencengangkan adalah sitaan uang senilai Rp 915 miliar dan 51 kg emas yang tak dapat dibuktikan sebagai kekayaan sahnya, memicu kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tersendiri. Hakim bahkan menyinggung adanya catatan pada tumpukan uang yang mengindikasikan keterlibatan pihak-pihak lain, termasuk hakim. Ini bukan sekadar kasus suap biasa, melainkan sebuah kotak Pandora yang menanti untuk dibongkar, mengungkap jaringan korupsi yang lebih luas dan kompleks di Tanah Air.
Gurita Judi Online: Kerugian Triliunan, Otak Belum Tersentuh?
Tak kalah heboh dan menjadi sorotan utama dalam pemberantasan korupsi adalah kasus judi online. Kerugiannya fantastis, mencapai Rp 600 triliun menurut PPATK, bahkan Presiden Prabowo sendiri menyebut angka Rp 900 triliun. Meskipun 23 tersangka telah diamankan, otak di balik gurita bisnis haram ini, yang diduga adalah Budi Ari, masih bebas melenggang. Namanya memang muncul dalam dakwaan di pengadilan, namun entah mengapa, sentuhan hukum belum juga menyergapnya. Ironisnya, jaksa memiliki wewenang untuk langsung menjadikannya tersangka tanpa harus menunggu langkah polisi. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas penegakan hukum terhadap aktor utama.
Misteri Kasus Pagar Laut: Antara Korupsi dan Pemalsuan
Namun, ada pula noda dalam catatan pemberantasan korupsi ini, yang terwujud dalam kasus Pagar Laut. Kasus ini, yang sempat gaduh dan bahkan diperintahkan pembongkarannya oleh Presiden, kini seolah lenyap ditelan bumi. Tersangka yang sempat ditahan pun telah dilepaskan. Pertentangan antara jaksa yang menganggapnya kasus korupsi dan polisi yang menyebutnya pemalsuan, menciptakan kesan macet dan tidak jelas. Ini adalah contoh terburuk dalam penegakan hukum, yang berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas praktik culas ini.
Kasus Pertamina Oplosan: Menanti Tanggung Jawab Pemimpin
Di sisi lain, kasus Pertamina (Oplosan) dengan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun, kembali memunculkan pertanyaan tentang tanggung jawab. Sembilan tersangka dari anak perusahaan Pertamina akan segera disidang, namun dugaan keterlibatan pihak di level holding atau kementerian masih menjadi misteri. Para pelaksana di bawah merasa tidak bersalah karena hanya mengikuti prosedur, sementara “ikan-ikan besar” di atasnya belum tersentuh. Ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya menyasar pelaksana di lapangan, namun juga para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan.
Terobosan Kasus Ekspor CPO Wilmar Group: Harapan Baru Keadilan
Namun, secercah harapan muncul dari kasus Ekspor CPO (Wilmar Group), yang diapresiasi karena prospek penegakan hukumnya yang menjanjikan. Hakim Juyanto, yang sebelumnya memutus onslag (peristiwa ada tapi bukan tindak pidana) dalam kasus ini, terbukti menerima suap dan telah mengembalikan uang Rp 2 miliar. Lebih lanjut, Wilmar Group telah mengembalikan uang sebesar Rp 11,8 triliun ke rekening pemerintah, sebuah pengakuan implisit atas kerugian negara. Kini, bola ada di tangan Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan onslag tersebut, menjadi preseden penting bagi keadilan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Optimisme dan Tantangan: Mendorong Gempuran Korupsi Lebih Jauh
Secara keseluruhan, perjalanan sembilan bulan pemberantasan korupsi di era Prabowo adalah sebuah mozaik yang kompleks. Ada langkah maju yang patut diapresiasi, namun juga ada hambatan politik dan kasus-kasus korupsi yang terkesan mandek. Meskipun demikian, optimisme harus tetap menyala. Upaya pemberantasan korupsi memang sudah mulai melangkah, namun gempuran terhadap korupsi harus terus diperkuat, tanpa pandang bulu. Masyarakat memiliki peran penting untuk terus mendorong pemerintah, memastikan janji “Antartika” bukan sekadar bualan, melainkan sebuah kenyataan yang berani dan tanpa kompromi. Apakah Presiden Prabowo akan mampu menuntaskan janji tersebut hingga tuntas? Kita tunggu saja perkembangannya.