Hari ke- 1 (Jumat, 12 Juni 2020)
Oleh: Wajidi Sayadi
Syekh Abdul Karim Pontianak, nama yang sangat dikenal para ulama terdahulu di Sulawesi Selatan dan Barat khususnya di Campalagian Polman. Ada nama Pontianak disebutkan di akhir namanya, karena berasal dari Pontianak, maksudnya Kabupaten Pontianak (sekarang Kabupaten Mempawah). Beliau juga dikenal dengan nama Syekh Bilokka, karena dilahirkan di Bilokka daerah Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) Sulawesi Selatan, daerah kabupaten tempat lahirnya Prof. M. Quraish Shihab.
Di Pontianak, khususnya di Kecamatan Sui Kakap dan Teluk Pakedai dikenal dengan nama Daeng Abdul Karim Daeng Talengka. Itulah sebabnya saya menulisnya dengan menggabung istilah Syekh yang menunjukkan keulamaan besar, dan Daeng menunjukkan identitas sebagai suku Bugis, jadilah saya menyebutnya Syekh Daeng Abdul Karim. Beliau ini adalah ayahanda Guru Haji Ismail Mundu di Teluk Pakedai. Beliau tidak populer dan tenar namanya sebagaimana puteranya Guru Haji Ismail Mundu, padahal Syekh Daeng Abdul Karim seorang ulama besar lama belajar di Mekah al-Mukarramah. Beliau belajar langsung kepada Syekh Sayyid Bakry Syatha’ pengarang Kitab I’anah ath-Thalibin Hasyiyah Fath al-Mu’in 4 jilid di Masjid al-Haram Mekah dan Kifayah al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’, sebuah kitab tasawwuf.
Sepulang dari Mekah tahun 1883 datang di Kampung Masigi Desa Bonde Campalagian Polman Sulawesi Barat, tempat kelahiran penulis (Wajidi Sayadi) tepatnya di masjid Raya Campalagian. Syekh Daeng Abdul Karim dikenal sebagai peletak dasar pengajian kitab Sharf dan Nahwu, khususnya Sharf Galaffo yang menjadi cikal bakal lahirnya Pondok Pesantren yang kemudian melahirkan banyak ulama hingga saat ini. Tahun 1889-1892 Syekh Daeng Abdul Karim menjabat sebagai Qadhi Masjid Raya Campalagian ke VII (ketujuh). Setelah itu Beliau balik ke Pontianak Kalimantan Barat hingga wafatnya.
Atas dasar itulah, Beliau sebagai tokoh kunci jaringan ulama abad XIX M Sulawesi Selatan-Sulawesi Barat dan Kalimantan Barat. Nama Syekh Daeng Abdul Karim kurang bahkan tidak dikenal di Pontianak dan Kubu Raya Kalimantan Barat. Berbeda dengan puteranya Guru Haji Ismail Mundu sangat terkenal sebagai ulama legendaris.
Pada bulan September 2019 lalu, saya menulis buku kecil dan sederhana berjudul “Jaringan Ulama; Mekah-Yaman-Kalimantan-Sulawesi di Masjid Raya Campalagian Polman”. Buku ini rencananya akan direvisi, termasuk tentang Syekh Daeng Abdul Karim sebagai tokoh kunci jaringan ulama Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan dan Barat.
Setelah menelusuri jejak Beliau ke beberapa tokoh agama di Pontianak, saya dapat informasi bahwa Beliau dimakamkan di Teluk Pakedai Kabupatan Kubu Raya tidak jauh dari maqam puteranya Guru Haji Ismail Mundu, ulama legendaris Mufti Kesultanan Kubu.
Hari Jumat, jam 08.35 start dari rumah Jl. Purnama Komp. Pondok Agung Permata Pontianak. Mengendarai motor dengan niat bisa shalat jumat di masjid Batu (Masjid Nashrullah), pusat kegiatan dakwah dan keagamaan Guru Haji Ismail Mundu.
Alhamdulillah, menempuh perjalanan sekira lebih 40 Km sangat mengesankan. Lika-liku kondisi fisik jalanan yang ada mulusnya, tapi rasanya lebih banyak tidak mulusnya. Akhirnya jam 10.10 sudah tiba di dermaga penyeberangan sungai Kakap. Tak lama menunggu, kapal motor air yang terbuat dari kayu sudah dipenuhi jejeran kendaraan motor roda dua beserta pengendaranya, akhirnya kapal motor bergerak pelan diiringi riak ombak kecil dan derasnya air sungai Kakap tanpa terasa sekitar 7 sampai 10 menit sudah merapat di dermaga penyeberangan wilayah Teluk Pakedai.
Anggota petugas kapal penyeberangan menurunkan satu persatu motor, sambil menunggu giliran motor diturunkan dari kapal, saya bertanya ke beberapa orang di sekitar itu, di mana jalan menuju ke Masjid Batu dan Maqam Guru Haji Ismail Mundu? Beberapa orang yang ditanya kebetulan pendatang juga, sehingga mereka tidak tahu. Ada seorang ibu muda yang saya tanya lagi. Ternyata Beliau pernah ziarah ke Maqam Guru Haji Ismail Mundu. Katanya bapak langsung aja ke arah Pasar Teluk Pakedai. Nanti dari situ, Bapak tanya dimana Masjid Batu dan maqam Guru Haji Ismail Mundu, pasti orang di situ tahu dan ditunjukkan arahnya. Maklum baru kali ini ke Teluk Pakedai lewat jalur penyebrangan ini, lebih 10 tahun lalu sudah dua kali ke sana, melalui Sui Kakap dijemput panitia karena sebagai penceramah Maulid Nabi SAW.
Tepatnya jam 10.30 motor Honda dengan semangat 2020 bukan semangat 45 he he he segera meluncur. Di tengah perjalanan sampai di simpang pertigaan, saya bingung arah yang mana ke masjid batu padahal sedikit agak tergesa-gesa karena ingin melaksanakan shalat jumat di masjid batu. Akhirnya berhenti dan bertanya ke penduduk yang kebetulan sedang berjualan di pinggir jalan. Alhamdulillah diarahkan agar lurus ajak mengikuti jalanan beraspal. Tak lama kemudian sampai lagi di persimpangan jalan, berhenti dan bertanya lagi ke penduduk, arah mana menuju ke Masjid batu dan Maqam Guru Haji Ismail Mundu. Rupanya belok menyebrangi jembatan.
Menelusuri sekaligus menikmati lika-liku jalanan yang diapit oleh jejeran pohon pinang, pohon kelapa, kelapa sawit, dan pepohonan rindang lainnya. Setelah cukup terasa lebih dua jam duduk di motor dengan jalanan yang tidak mulus, sampai lagi di pertigaan, berhenti lagi, tengok kanan-kiri mau tanya., tiba-tiba terlihat ada bangunan kantor yang lumayan bagus. Akhirnya saya mendekat, eeh rupanya Kantor Urusan Agama Kecamatan Teluk Pakedai. Terpikir oleh saya, Kepala KUA-nya adalah alumni Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) dan Program Pascasarjana STAIN Pontianak. Saya penguji Tesisnya. Dalam hati terbetik rasa aman, dan yakin bahwa masjid Batu dan Maqam Guru Haji Ismail Mundu pasti sudah dekat karena pasti berdekatan dengan Kantor Urusan Agama. Jam sudah menunjukkan angka 11.15.
Setelah menunggu sejenak, Kepala KUA sedang menikahkan dua sejoli dalam satu ikatan suci di hari jumat hari penuh berkah. Saya titip pesan sama pegawainya, ada pak Wajidi dari Pontianak di ruang tunggu. Tak lama, pak Juliansyah, S.Sos.I., M.Pd Kepala KUA keluar dan bertemulah. Sungguh sangat senang dan merasa aman. Oleh karena waktu menjelang shalat jumat, disingkat cerite. Kebetulan pak KUA sangat sibuk dan banyak agenda pelayanan masyarakat baik di kantor maupun di kediaman warga setelah shalat Jumat sehingga tidak bisa menemani ke Masjid Batu. Seorang pegawai staf-nya bernama Fadri Ariyandi diberi amanah untuk menemani saya ke masjid Batu.
Sebelum berangkat meninggalkan kantor urusan agama menuju Pasar Teluk Pakedai. Saya tanya sama Fadri, jauh gak ke Masjid Batu? Jawabnya, masih jauh pak lebih 3 Km. Kalau begitu, segera tancap gas meluncur, khawatir tidak sampai shalat jumat di Masjid Batu, karena jam sudah menunjukkan angka 11.30. Setelah menelusuri jalan setapak ukuran lebar sekira satu meter jalan khusus kendaraan motor roda dua sepanjang 3 km dengan pemandangan kanan-kiri hanya kebun dan sungai-sungai, sangat jarang rumah penduduk. Cukup banyak menyeberangi jembatan yang masih terbuat dari kayu-kayu tipis. Tepat adzan shalat jumat Hayya ‘ala ash-shalah, kami sudah parkirkan motor di halaman masjid Batu. Masuk ke ruangan masjid ketika Khatib sudah berada di Mimbar. Akhirnya sampai shalat jumat di masjid bersejarah pusat kegiatan dakwah dan keagamaan Guru Haji Ismail Mundu Putera Syekh Daeng Abdul Karim.
Usai shalat jumat, ketemu dan ngobrol dengan ustadz H. Surahuddin imam dan Ketua Masjid Batu, dan Ust. Ramdani sekretaris masjid yang kebetulan Beliau Khatib shalat pada hari itu. Sebagaimana pada umumnya, pak Imam dan sekretaris juga hanya banyak cerite tentang Guru Haji Ismail Mundu saja, tidak ada informasi yang cukup dan memadai tentang jejak Syekh Daeng Abdul Karim. Namun pak Imam hanya memberi informasi bahwa maqam ayahnya Guru Haji Ismail Mundu ada di Sui Kakap Parit Lintang atau parit Habibah.
Masjid Batu atau nama sebenarnya adalah masjid Nashrullah yang dibangun oleh Guru Haji Ismail Mundu pada tahun 1926, mulai ditempati shalat jumat tahun 1929. Di masjid inilah pusat kegiatan dakwah dan keagamaan, termasuk pengajian.
Dalam buku “Guru Haji Ismail Mundu (Ulama Legendaris dari Kerajaan Kubu) karya Ust. Baidillah Riyadhi disebutkan bahwa Guru Haji Ismail Mundu menulis delapan karya kitab, yaitu Terjemah dan Tafsir al-Qur’an Berbahasa Bugis, Ushul at-Tahqiq, Mukhtashar al-Mannan ‘ala al-‘Aqidah ar-Rahman, Jadwal Nikah, Majmu’ al-Mirats, Konsep Khutbah Bulan Shafar dan Jumad al-Akhir, dan Kitab Dzikir Tauhidiyah. Kitab-kitab inilah yang diajarkan dalam pengajian di masjid Batu, termasuk Tafsir al-Qur’an.
Kata guru besar saya di kampung halaman, KH. Muhammad Zein (wafat 1988) mengatakan, Syekh Daeng Abdul Karim ayahanda Guru Haji Ismail Mundu pernah menulis menyalin Kitab Tafsir al-Jalalain. Tulisan al-Qur’annya berwarna merah dan Tafsirnya berwarna hitam. Bisa jadi, Tafsir yang dipakai Guru Haji Ismail Mundu yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Bugis adalah Tafsir al-Jalalain yang ditulis tangan oleh ayahnya sendiri. Hanya saja, sangat disayangkan karena Tafsir tersebut baik karya Syekh Daeng Abdul Karim maupun karya Guru Haji Ismail Mundu tidak ditemukan sampai sekarang.
Setelah dari masjid Batu, perjalanan dilanjutkan ziarah ke Makam Guru Haji Ismail yang letaknya tak jauh dari masjid. Guru Haji Ismail Mundu wafat pada hari kamis, 15 Jumadil Akhir 1376 H/17 Januari 1957 dalam usia 87 tahun (1870-1957). Ternyata di sana lagi sedang ramai peziarah sekitar 20-an orang satu kelurga dari Segedong dan Pontianak. Petugas makam atau tokoh yang kebetulan berada di situ juga memberitahu bahwa ayahnya yakni Daeng Abdul Karim dimakamkan di Sui Kakap Parit Lintang. Dia pun tidak tahu cerite jejak-jejak Syekh Daeng Abdul Karim.
Setelah prosesi ziarah, akhirnya perjalanan balik ke Pontianak dan berpisah dengan sdr. Fadri Aryandi yang Kembali ke Kantor Urusan Agama. Terima kasih sudah mengorbankan waktu menemani perjalanan ke masjid Batu, juga ust. Kepala KUA atas bantuannya akhirnya sampai ke masjid Batu. Allah akan membalas budi baiknya dengan memudahkan semua urusannya menuju keberkahan hidup dan ridha Allah. Aamiin.
Pontianak, 17 Juni 2020