Oleh: Yusriadi
Bahasa Mandarin dipakai oeh pembawa acara dalam acara pembukaan seminar hasil penelitian mahasiswa Psikologi Islam (PI) dan Pendidikan Agama Islam (PAI) IAIN Pontianak, Senin (30/12/19). Bahasa internasional ini mengiringi bahasa Indonesia, Arab dan Inggris dipakai Febriansyah, dkk. menyerikan pertemuan di aula kampus.
Peserta yang hadir, sekitar 200-an orang dibuat terpukau. Setiap giliran bahasa Mandarin mereka terpesona dan tersenyum, dan tertawa takjub keheranan. Acara pembukaan menjadi penuh warna.
Saya, termasuk hadirin yang takjub full. Saya kira, Pak Hariansyah, Bu Fitri Sukmawati, Pak Ma’ruf, juga begitu. Mereka juga takjub.
20 tahun sebagai pegawai, plus 5 tahun sebagai mahasiswa di kampus hijau ini, baru kali inilah menikmati dan melihat moment beracara seperti itu. Asli, tak jemu saya memandang anak-anak muda pembawa acara. Khususnya Febri, mahasisea PI 5, yang menggunakan bahasa Mandarin.
Menyimak detail yang diucapkan pembawa acara, mengingatkan kenangan 22 tahun lalu saat belajar bahasa Mandari di Kampus Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Meskipun hanya level 1, ya… lumayan menambah wawasan tentang bahasa itu.
Jadi, saya, tentu tidak asing dengan bunyi bahasa Mandarin. Di beberapa kesempatan juga menghadiri forum berbahasa asing itu. Terus, ada juga film Mandarin dan TV berbahasa Mandarin. Kalau orang mengatakan, ni hao ma, wo ai ni, xie xie, atau berhitung dan makan, bisalah ber-hao le.
Penampilan pembawa acara berbahasa Mandarin di kampus IAIN Pontianak, oleh mahasiswa IAIN, tentu bagi saya sesuatu yang istimewa. Hebat.
Saya setuju 100 persen, ketika Dr. Hariansyah mengatakan penggunaan empat bahasa, termasuk bahasa Mandarin merupakan kejutan untuk Pak Ma’ruf, rekan yang menjadi pembahas seminar itu.
Selama ini, bahasa Mandarin belum pernah dipakai di ajang resmi di sini. Meskipun pernah ada mata kuliah Sinologi, dan sekarang Bahasa Mandarin, tetapi itu hanya ada di ruang kelas. Jumlah mahasiswa hanya 20-an orang. Mahasiswa mungkin hanya takjub sendiri ketika lauzhe mengucapkan bahasa Mandarin sebagai pengantar.
Saya kira, jika tradisi beracara 2-4 bahasa di kampus ini dilazimkan, IAIN akan menjadi model multikultur. Lebih dari itu, ini akan memperlihatkan bahwa kampus memberikan apresiasi dan ruang untuk mahasiswa yang mampu berbahasa internasional. Pasti yang begini akan jadi motivasi tersendiri bagi mahasiswa yang bilingual. (*)