Oleh Hermayani Putera
Pekerja asal Indonesia menempati peringkat tertinggi dibandingkan tenaga kerja asing dari negara lainnya yang bekerja di Malaysia. Menurut catatan resmi Kementerian Sumber Manusia, tenaga kerja Indonesia (TKI) yang resmi terdaftar pada tahun 2017 berjumlah 707.181 orang.
Resmi dan terdaftar? Ya, karena sesungguhnya secara faktual jumlah TKI/TKW jauh lebih besar dari data resmi tersebut, dan bekerja di sektor perkebunan terutama sawit, konstruksi, asisten rumah tangga, perawatan dan pemeliharaan otomotif, layanan kebersihan, pelayan kedai kopi dan restoran, dan pekerjaan kejuruan serupa lainnya adalah formasi tenaga kerja yang sering dikategorikan 3D (dirty, dangerous, demeaning) alias kotor, berbahaya, dan rendahan oleh publik di Malaysia.
Karena mereka dibayar lebih rendah dibandingkan profesi lainnya di Malaysia, tidak banyak warga negara Malaysia yang bekerja di sektor ini. Peluang ini yang kemudian banyak diisi oleh migran dari negara lain, terutama yang berasa dari India, Myanmar, Bangladesh, Nepal dan Indonesia.
Di Kuala Lumpur, kami bertemu dengan beberapa orang asal Indonesia yang bekerja di negeri jiran ini. Bu Zubaidah, misalnya. Sosok perempuan berumur tujuh puluh tahun ini berasal dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat ini bercerita bahwa ia sudah dua puluh tahun berjualan nasi lemak dan berbagai jenis lauk. Dengan sewa sekitar 250 Ringgit Malaysia (RM) tiap bulannya, ia berjualan di trotoar dekat stasiun kereta, tidak jauh dari Masjid Jamik Kuala Lumpur. Jualannya selalu habis.
“Kecuali kalau hujan, jualan saya jarang sekali habis, masih tersisa sedikit,” tuturnya. “Biasanya saya berikan kepada saudara-saudara kita yang di sana,” sambungnya, sambil menunjuk ke beberapa orang tunawisma yang masih terbaring pulas di pelataran pembatas tanaman hias dan jalur pedestrian untuk pejalan kaki.
Mereka adalah para pekerja yang sulit mendapatkan fasilitas rumah karena tarif sewa yang cukup mahal di sini. Dua keping keramik ukuran sedang cukup sebagai alas tidur beratapkan langit bagi para tunawisma ini.
Mungkin karena senang berbagi ini yang menyebabkan Bu Zubaidah jarang menderita sakit. Beliau tampak segar. Hidupnya penuh barakah. Murah rezeki. Padahal tiap hari ia selalu bangun awal, jam satu dinihari, guna menyiapkan segenap jualannya tersebut. Meracik bumbu, memasak nasi serta aneka ragam lauk dan sayur, dikemas di panci-panci besar, lalu memasukkannya ke bagian belakang mobilnya, dan meluncur sekitar 15-20 menit menuju trotoar tempat berjualan ini.
Hidup Bu Zubaidah mengalir saja. Setelah suaminya wafat beberapa tahun lalu, praktis ia sendiri yang membesarkan kelima anaknya. Tiga anaknya sudah memberikan cucu, hiburan tak ternilai baginya.
Di Malaka, kami juga jumpa dengan warga Indonesia lainnya. Syukri namanya. Pria 24 tahun yang masih bujangan ini sudah tiga tahun merantau ke Malaka. Mengandalkan ketrampilan mengupas kelapa muda hingga ke bagian dalam batoknya yang masih lembut hingga hanya tersisa daging kelapa bulat utuh. Menghadirkan sensasi baru menikmati kelapa muda. Airnya diminum dengan sedotan, saat diseruput segarnya terasa masuk ke tenggorokan. Selanjutnya, giliran daging lembut yang disantap.
Alhamdulillah, dengan tarif 5 RM, kami bisa menikmati keseluruhan air dan daging kelapa muda, plus atraksi bagaimana mengupas kelapa muda ini. Juga cerita mimpi dan masa depannya setelah tabungannya cukup banyak bekerja di Malaka ini.
“Saya targetkan tiga atau empat tahun lagi saya di sini. Setelah tabungan cukup, pengalaman kerja di beberapa bisnis kuliner di sini cukup banyak, rencananya saya akan balik kampung ke Tanjungpinang (Kepulauan Riau). Merintis usaha kuliner di sana, sambil mengembangkan potensi wisata di kampung,” ujarnya, penuh optimisme. * Penulis adalah tokoh lingkungan hidup Kalbar. Berdomisili di Pontianak.