Oleh: Nur Iskandar
Jangan salahkan orang lain kepada kita jika kita sendiri tidak mau berusaha memperkenalkan diri kita sendiri. Sebab informasi baru bisa diolah dan menjadi keputusan pihak luar, jika ada komunikasi dari diri kita sendiri. Begitulah prinsip ilmu komunikasi massa yang menjadi sudut pandang tulisan ini.
Masalah kita adalah, ada satu tokoh pendiri bangsa, seiring semasa dengan proklamator Soekarno dan Hatta serta ‘founding fathers’ lainnya, namun tidak dikenal massa–masyarakat Indonesia. Beliau adalah Sultan Hamid II Alkadrie, raja ketujuh Kesultanan Qadriyah, menteri negara kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) sang arsitek pengakuan kedaulatan proklamasi 17 Agustus 1945 dari penjajah Belanda hingga pencipta lambang negara elang rajawali Garuda Pancasila seperti yang kita gunakan hingga hari ini–namun pendar dari eksistensi sejarah Bangsa Indonesia. Boro-boro hendak ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena peranannya yang besar bagi bangsa dan negara. Jadi harus kita komunikasikan terus menerus tanpa kenal lelah dan bosan. Setiap saat dan setiap waktu harus diperbincangkan. Harus dijelaskan.Harus diceritakan. Harus dibukukan. Harus dipentas teaterkan. Harus difilmkan. Harus dipantunkan.Harus dilukiskan. Harus dibuat nama jalan di mana-mana seantero Nusantara. Harus dan harus…Jika kita mau, karena kita bangga atas peranannya dalam sejarah lokal, nasional dan internasional. Sebab mengapa harus begitu? Sebab Tuhan pun tidak akan mengubah nasib suatu kaum, jika kaum itu sendiri tidak mau merubahnya. Intinya ya harus ada kemauan itu.
Sebagai jurnalis yang tergabung dalam tim investigasi sejarah menjelang Hut Emas Republik Indonesia di Mimbar Untan (1994) kami telah menemukan ‘the missing link’ sejarah yang menjadi ‘kartu truf’ sejarah Indonesia. Bukti faktuil peran Sultan Hamid II sang perancang lambang negara. Sebuah disposisi Soekarno pada 20 Februari tahun 1950. Di sana Soekarno jelas menyebut Sultan Hamid II Alkadrie sebagai Jang Moelija (JM) bukannya pengkhianat negara. Di sana juga jelas Bung Karno memuji lambang negara karya Sultan Hamid II Alkadrie untuk disempurnakan sesuai dengan kehendaknya selaku Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sultan Hamid II wajar menjadi kebanggaan masyarakat Kalbar. Beliau Mayor Jenderal yang gagah dan arif memaknai kekuatan lokal. Beliau mengemban amanah selalu par ekselent. Yakni selaku KNIL, selaku Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat, selaku Meneg Zonder Porto Folio maupun Ketua BFO. Mengutip sejarahwan cum budayawan Betawi Riduan Saidi, “Ini Sultan Hamid orang baek. Coba cek adakah pernyataannya yang kontroversial selama hidupnya untuk kepentingan bangsa dan negara? Yang ada justru dia ditenggelamkan dalam sejarah.”
Sejak ditemukannya disposisi Soekarno yang tidak pernah termuat mata pelajaran sejarah di seluruh Indonesia kepada para generasi muda, maka Tabloid Mahasiswa Mimbar Universitas Tanjungpura memuat temuannya itu sebagai kepala berita. Headline. Dari headline itulah lahir penelitian tesis sejarah hukum lambang negara yang ditulis pakar hukum tata negara Turiman Faturahman Nur. Kemudian disusul dari sisi pidana makar yang tidak terbukti (bahkan dinyatakan bebas dari segala tuduhan pidana pemberontakan APRA yang dialgojoi Westerling) oleh Anshari Dimyati. Keduanya riset tesis di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Masing-masing pada tahun 1999 dan 2012.
Sejak saat itulah keberanian menuliskan Sultan Hamid mengemuka. Sepanjang kurun 1994-2012 lahir banyak narasi tentang Sultan Hamid yang digawangi Yayasan Sultan Hamid dan eksposurnya lewat media massa, terutama koran, majalah, tabloid, dan kini merambah media sosial tanpa batas.
Jalan menuju pengakuan negara sebagai pahlawan nasional pun terbuka. Plus minus Sultan Hamid bisa dicek dengan penelitian ilmiah. “Dari sisi penelitian ilmiah kita sudah selesai. Kini perjuangannya di jalur politik,” kata Gubernur Kalimantan Barat, H Sutarmidji, SH,M.Hum dalam berbagai kesempatan. Sebab nama jalan sudah dilakukan untuk Sultan Hamid, buku-buku telah terbit, arena diskusi ilmiah terus menggema, bahkan masuk ke jagad sastra dan budaya yang terus menggelinding bak bola salju di seluruh Indonesia.
Sejarah Hamid terkait banyak tokoh nasional. Berkelindan dengan banyak daerah. Tak terkecuali aspirasi dan sumbu utama pemikirannya tentang bagaimana memakmurkan Indonesia merdeka.
Nyawa perjuangan agar Sultan Hamid II pahlawan nasional ada di sana. Ada di harkat dan martabat manusia yang hanif atau condong pada kebenaran dan takwa. Inilah yang harus terus dikomunikasikan termasuk pengusulannya sebagai pahlawan nasional lewat seluruh syarat normatif maupun sosiologis historis.
Festival Nadi Khatulistiwa (Fena) 2020 adalah bagian dari ‘road to Pahlawan Nasional untuk peran sentral Sultan Hamid. Massa menyaksikan lagu Equator Eagle (Elang Khatulistiwa) buah karya Yudie Arwana Chaniago dengan musikalisasi multi etnik sebagai cermin ragam Nusantara yang indah. Yang memperkaya Indonesia Raya yang merdeka dalam ekonomi, politik dan budaya.
Live Konser Virtual Arwana 25th, terkait hari jadi Kota Pontianak ke-249 dan Sumpah Pemuda, serta hari-hari besar lainnya sepanjang Oktober-Nopember adalah bagian dari komunikasi massa lewat jalur seni, sastra dan budaya. Kita angkat tema sentral Hut 25 band legendaris asal Kalbar Arwana “tribute to Sultan Hamid II”. Kita ingin komunikasikan peran kesejarahan Sultan Hamid II yang diantarkan dengan cara elegan yakni berseminya artikel yang berkorelasi event, serta jumpa pers yang disiarkan sebagai rekam jejak digital.
Sambutan para tokoh pemerintah dan budaya menguatkan elan vital ketepatan aksara pahlawan nasional yang bisa dirujuk Presiden RI dalam menjatuhkan hak prerogatifnya dalam menetapkan seseorang sebagai pahlawan nasional di Indonesia.
Live Konser Virtual Arwana “tribute to Sultan Hamid II” sangat efektif menyampaikan pesan pahlawan mewarnai Hari Kesaktian Pancasila, lahirnya TNI, hari jadi Kota Pontianak hingga Sumpah Pemuda dan hari Pahlawan Nasional. Dalam 10 jam rekam jejak digital konser sudah disaksikan 1.200 pemirsa seluruh Indonesia. Ini prestasi pelurusan sejarah yang sangat baik dan elegan. Hanya terjadi untuk sosok bernama Sultan Hamid II Alkadrie diplomat negarawan asal Kalimantan.
Komunikasi massa itu tidak hanya lewat lagu, tapi juga lewat doa. Baru di event inilah Allahyarham Sultan Hamid II Alkadrie didoakan di depan massa, di tempat terbuka, agar Tuhan Yang Maha Kuasa menggerakkan mata hati Presiden RI agar menetapkan Sultan Hamid II Alkadrie sebagai Pahlawan Nasional. Doa yang dimunajadkan dari kami warga tertindas oleh rezim sejarah yang terbelah tanpa melihat dan mendengar jerit hati putra-putri Bumi khaTULIStiwa dan berbagai belahan wilayah Nusantara yang bernasib sama. Malam maulid nabi. Malam Jumat. Di tengah hujan deras yang menurut Rasulullah SAW adalah mustajabah. Kita lihat saja reaksi teologis berpadu sosiologisnya.
Seusai Konser 25th Arwana masih akan banyak acara seni sastra dan budaya. Yakni berbalas pantun Nusantara. Rekor ke Unesco-PBB sebagai warisan budaya dunia tak benda.
Masih akan ada livetime achievment award. Launching buku. Termasuk museum digital perjuangan Sultan Hamid II sebagai komunikasi massa ‘road to Pahlawan Nasional.
Sesungguhnya gelar pahlawan nasional bukanlah tujuan. Tetapi esensi kepahlawanan dan terbongkarnya kebenaran adalah kesejatian hidup yang hendak diangkat sebagai harkat dan martabat sebuah bangsa yang yakin kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yakin kemanusiaan yang adil dan beradab. Yakin persatuan Indonesia.Yakin kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Semoga dengan komunikasi massa lewat jalur ilmiah, lewat jalur politik, dan lewat jalur seni-budaya-serta sastra mampu menggedor qalbu Presiden RI untuk menetapkan Sultan Hamid II Alkadrie sebagai pahlawan nasional tahun 2020 ini, 2021 yang akan datang, atau kapanpun di Indonesia. Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila tetap di dada seluruh warga NKRI yang akan terus lahir dan kami terus akan menyuarakan sebagai aspirasi warga negara yang cinta kepada kearifan dan kesejarahannya yang menyatukan Nusantara. *