Oleh: Nur Iskandar
Tahun 2016 Yayasan Sultan Hamid II Alkadrie mengajukan kepada Negara agar Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila: Sultan Hamid II Alkadrie ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Usulan ini diaminkan Tim Peneliti dan Pemberi Gelar Daerah (TP2GD).
Dinas Sosial, Walikota dan Gubernur memberikan rekomendasi khusus berikut tanda-tangan seluruh anggota TP2GD–termasuk Kodam XII Tanjungpura berikut seluruh angkatan. Di tingkat Kalbar gelar pahlawan untuk Sultan Hamid II Alkadrie yang juga berjasa melalui peran kekuatan ketiga antara Belanda dan Negara Proklamasi dalam pengakuan kedaulatan sehingga agresi militer Belanda stop total, lantas Indonesia bisa stabil membangun negeri dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) kemudian dalam kurun 1949-1950 RIS berubah menjadi NKRI sesuai Mosi Integral tokoh Masyumi, pernah menjabat Perdana Menteri: Moh Natsir.
Pada tahun 2016 pengajuan gelar pahlawan nasional untuk Sultan Hamid II Alkadrie disusun berdasarkan juklak dan juknis Departemen Sosial di mana di sanalah digelar sidang TP2GP (Tim Peneliti dan Pemberi Gelar Pusat). Sebanyak 17 rangkap dikalikan 200-an halaman yang di dalamnya tersistematisir sesuai juklak dan juknis Depsos sesuai UU Gelar Pahlawan Nasional. Mulai dari profile subjek atau tokoh yang diajukan hingga monumen yang dibuat untuknya, foto-foto pendukung, testimoni tokoh lokal dan nasional sekaligus referensi buku-buku sezaman yang up-to-date serta dapat dipercaya keabsahannya. Dokumen pendamping buku pengajuan usul gelar pahlawan nasional untuk Sultan Hamid II Alkadrie itulah yang banyaknya dua koli. Karena semua dirangkap menjadi 17 buah. Yakni untuk dibaca oleh anggota TP2GP dan kemudian TP2GP akan melakukan “gelar perkara” sekaligus verifikasi di lapangan.
Nah, dua hal di atas sesuai standar operasional prosedur (SOP) TP2GP tidak diterima Kalbar. Tidak ada verifikasi ke lapangan. Tidak ada “gelar perkara” yang memungkinkan TP2GD dan Yayasan Sultan Hamid mengajukan hak-hak argumentatifnya. Tetiba tahun 2019 setelah 3 tahun naskah menumpuk di Departemen Sosial muncul produk administratif yang aneh bin ajaib. Yakni surat dari Dirjen Gelar Kepahlawanan berisi “penolakan” dengan alasan
- Bahwa Sultan Hamid II bukan perancang tunggal lambang negara.
- Sultan Hamid terlibat pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) bersama Westerling menyebabkan Kolonel Lembong tewas.
- Sultan Hamid hendak membunuh Sultan Hamingkubuwono IX.
Praktis surat penolakan itu dijawab oleh Gubernur Kalbar yang membantah semua tuduhan itu. Yayasan Sultan Hamid II Alkadrie juga menjawab tiga hal itu lebih terperinci.
Bahwa 1. Sultan Hamid II Alkadrie adalah perancang tunggal lambang negara, karena dia memenangkan lomba desain lencana negara yang diselenggarakan oleh Menteri Penerangan RIS Prijono. Juara 1 Sultan Hamid sedangkan yang lainnya ditolak, termasuk karya Muhammad Yamin. Adapun perbaikan dan penyempurnaan tidaklah mengurangi hak kekayaan intelektual seorang Sultan Hamid II Alkadrie persis seperti penyempurnaan lagu kebangsaan Indonesia Raya karya WR Supratman. Di sini terlihat adanya ketidak-konsistensian TP2GP di mana WR Supratman adalah pahlawan nasional sedangkan Sultan Hamid II ditolak. Padahal Bung Karno juga menyebutkan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara Elang Rajawali Garuda Pancasila. Dokumen asli dimiliki Yayasan Sultan Hamid dan di tahun 2016 pula diakui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Cagar Budaya Tingkat Nasional. Begitupula Kementerian Luar Negeri melalui Museum Konferensi Asia Afrika telah meluncurkan film dokumenter tentang sejarah hukum lambang negara dengan menyebutkan sang perancangnya adalah Sultan Hamid II Alkadrie. Menjadi tanda tanya besar kenapa berbeda pandangan antara Depsos dengan Depdikbud dan Deplu? Bahkan juga Depsos bertentangan dengan Setneg yang tahun 2012 menyelenggarakan seminar nasional lambang negara bahkan pameran lambang negara karya Sultan Hamid II Alkadrie di Gedung Pancasila dekat Istana Negara? Di mana administratur Negara mengatur centang perenang ini? Di mana fungsi Menteri Koordinator? Rapat kabinet? Kenyataan pahit yang harus diluruskan karena hal ini sesungguhnya sangat mudah dijawab jika Depsos dan TP2GP berani terbuka, transparan, disaksikan publik karena publik juga punya hak untuk tahu–UU Keterbukaan Informasi Publik.
Poin kedua lebih parah lagi, yakni tuduhan bahwa Sultan Hamid II bersekongkol dengan Westerling. Tentang hal ini TP2GP dan Kemensos lebih aneh bin ajaib alias very-very miracle. Dokumen putusan Mahkamah Agung yang dilampirkan sepertinya tidak dibaca dengan cermat. Di sana disebutkan bahwa tidak cukup bukti, bahwa Sultan Hamid melakukan makar sesuai tuduhan Jaksa Agung. Sehingga Hamid dibebaskan dari segala tuduhan makar tersebut. Jadi, dari mana Hamid II Alkadrie divonis 10 tahun penjara sehingga terhalang dari syarat umum Pahlawan Nasional? Tiada lain daripada “niat” membunuh Sultan Hamingkubuwono IX, Tahi Bonar Simatupang dan Achmad Budiardjo tetapi niat itu tidak dilakukan. Tidak juga ada pergerakan senjata dan pasukan. Tidak ada “body-contact”. Ketiga tokoh disebut panjang umur dan meraih jabatan penting negara sepanjang hidupnya. Sultan HB-IX dan TB Simatupang bahkan sudah jauh waktu ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Sultan Hamid masih hidup hingga 30 Maret 1978. Dia dibekam jadi pesakitan 8 tahun di penjara tanpa ada kesalahannya. Di mana pun orang belajar hukum, bahwa “niat yang tidak dilaksanakan” tidaklah ada dosa sama sekali, tidak ada kesalahan sama sekali, tidak ada unsur pidana untuknya. Silahkan cek ke seluruh penjuru dunia untuk ilmu hukum pidana tersebut. Maka adalah aneh TP2GP dan Kemensos menulis point kedua sekaligus menjawab point ketiga terkait Sultan HB-IX. Maka semua sudah dijawab tuntas. Tuntas plus tidak ditangkapnya si mider-darder Westerling sejak 1950. Ia melanglang buana – bebas – terbang pulang kampung di Belanda – tidak pula ada tuntutan NKRI atas kejahatan perang atasnya. Termasuk peristiwa 1946 di Sulsel. (Belakangan ada keluarga korban yang menuntut di Den Haag dan dikabulkan, sekaligus Belanda minta maaf–selesai urusan sampai di sini untuk kisah 1946 antara Westerling dengan rakyat Sulsel). Apalagi jika Depsos Cq TP2GP membaca isi pledoi Sultan Hamid II. Di sana tampak jelas nasionalismenya. Tampak alasan kenapa niat itu muncul–yakni akibat dirinya diteror sedemikian rupa, padahal dia adalah Sultan Pontianak–satuan negara berdiri sendiri–setara dengan NRI.
Lantas di surat Dirjen Pahlawan Nasional itu ada point kesempatan mengajukan Sultan Hamid II Alkadrie sebagai Pahlawan Nasional sekali lagi, selambat-lambatnya tahun 2021. Adalah aneh bin ajaib, dokumen semuanya menumpuk di Depsos tidak didistribusikan kepada TP2GP, Kalbar tidak mendapat surat berita acara sidang TP2GP tersebut, Kalbar tidak diberi kesempatan seminar nasional di Depsos yang saya istilahkan dengan “gelar perkara” serta tidak ada verifikasi lapangan TP2GP, berikut alasan lengkap anggota TP2GP melakukan penolakan. Padahal di tahun 2016, Mensos saat itu Khofifah Indar Parawansah menyatakan persyaratan sudah paripurna untuk Sultan Hamid II Pahlawan Nasional tinggal digelar seminar nasional di Depsos. Dananya juga dari Depsos. Kemana ini? Sekali lagi ini SOP tidak berjalan di TP2GP di Kemensos. Berbeda di Kemendikbud untuk cagar budaya nasional terhadap karya Sultan Hamid II Alkadrie berupa lambang negara yang kita pakai sampai saat ini. Tim Yayasan Sultan Hamid II Alkadrie presentasi di depan 15 guru besar sejarah dan pendidikan kebudayaan Indonesia. Lolos. Terbukti sebagai fakta sejarah tak terbantah. Pengakuan Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara masuk dalam buku-buku mata pelajaran sejarah sejak SD-SMP-SMA/SMK sampai MKDU Perguruan Tinggi.
Aneh bin ajaib selanjutnya yang muncul di tangan anggota TP2GP adalah buku pengajuan gelar pahlawan nasional itu hanya ada di tangan Dr Anhar Gonggong. Tidak sampai ke Dewan Gelar seperti pengakuan Prof Dr Meutia Hatta serta kesaksian Kadis Sosial Kalbar Ibu Yuline ketika mengecek administrasi pengajuan pahlawan nasional dari Kalbar, 2019. Kami melihat dengan mata kepala sendiri, yakni saat Dr Anhar Gonggong hadir ke Kalbar 27 Nopember 2019. Kedua, saat Dr Anhar Gonggong menjadi narasumber webinar Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI). Dia menunjukkan buku yang sama dalam foto di artikel ini. Isi pernyataan Dr Anhar Gonggong sama: 1. Foto Sultan Hamid II bersama Ratu Wilhelmina di tahun 1946 di mana Hamid diangkat sebagai Mayjen KNIL. Pertanyaan Dr Anhar Gonggong di mana nasionalisme Hamid di tahun 1946 kita dikejar-kejar Belanda? 2. Pada 1946 terjadi pembantaian warga Sulsel oleh Westerling. Keluarga besar Anhar banyak menjadi korban kebiadaban Westerling. Terhadap pernyataan Dr Anhar Gonggong ini dijawab pula oleh Yayasan Sultan Hamid II Alkadrie bahwa pada 1946 jenazah Sultan Muhammad baru saja ditemukan setelah dibunuh penjajah Jepang. Sultan Hamid II yang baru bebas dari penjara Jepang menggantikan ayahnya sebagai Sultan Pontianak. Dia kemudian mulai keliling Kalbar menyerap aspirasi rakyat. Di kurun waktu itu nasionalismenya bergejolak untuk Indonesia–tidak hanya berkutat di bidang militer seauai cita-citanya berkarir pasca tamat dari KMA Breda (Akmil). Dia kemudian diangkat sebagai Mayjen dan menduduki posisi pengawal khusus Ratu Wilhelmina karena kedudukan Kesultanan Pontianak adalah mitra sejajar Belanda. Pontianak adalah negara berdiri sendiri. Bahkan para sultan di Kalbar sepakat membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dengan Sultan Hamid II sebagai presidennya. Posisi Kalbar dengan Negara Proklamasi adalah sejajar. Adalah hak Sultan Hamid II menerima pangkat Mayjen tersebut. Justru karena kedekatan dengan Wilhelmina dan Ratu Juliana itulah yang menolong Negara Proklamasi di ajang Konferensi Meja Bundar di mana Sultan Hamid yang juga Ketua Badan Negara Negara Federal (anggota 15 negara bagian seluruh Nusantara) berpihak kepada Republik Indonesia. Lalu di mana ketidak-nasionalismean Sultan Hamid? Standing opinion Dr Anhar Gonggong kali ini keliru. Anhar tidak mengerti dengan sejarah Kesultanan Qadriyah dan DIKB. Bahwa sejak 1932 Sultan Muhammad yang tewas di tangan Jepang telah bermuhibah budaya dengan Ratu Wilhelmina. Begitupula sejak 1774 sudah ada kesepakatan antara Sultan Syarif Abdurahman Alkadrie dengan Belanda sehingga Kesultanan Qadriyah tidak pernah dijajah. Kalbar setara dengan Belanda. Setara dengan Negara Proklamasi. Maka wajarlah sejak masa kecil Sultan Hamid telah akrab dengan Istana Belanda. Bahkan mesjid Jami’ pun bergaya arsitektur topi kompeni Belanda–adalah hal biasa di Kalbar. Namun Hamid tidak kebelanda-belandaan dalam hal idiologi.
Dia jadikan kedekatan dengan Belanda untuk kepentingan Indonesia. Rujuklah pidatonya bersama Hatta di 17 Agustus 1949 di Amsterdam. Nampak sekali nasionalismenya. Adapun tuduhan Hamid kebelanda-belandaan dengan rujukan Hamid menikahi Didi (Dina) Van Delden juga adalah keliru besar sebab Didi (Dina) Van Delden adalah Belanda peranakan Indonesia. Dia lahir di Surabaya. Bahkan ayahnya, Nicolas Van Delden juga peranakan dari Belanda dan Sulawesi. Mereka adalah pengembang perkebunan kopi yang sangat berjasa bagi perkopian Indonesia saat ini.
Kondisi tersebut di atas diutarakan kembali di saat Rapat Bersama Kadis Sosial yang baru Golda, M.Si di Aula Dinas Sosial Kalbar, Selasa, 22 September 2020. Melalui Rapat yang juga diikuti Kodam XII Tanjungpura itu disimpulkan bahwa, Dinas Sosial akan berkoordinasi dengan Dirjen Kepahlawanan Nasional di Depsos sekaligus mohon arahan Gubernur Kalbar terkait surat Gubernur belum dijawab Kemensos soal bantahan 3 poin penolakan Kemensos terhadap Hamid, kemudian apakah pengajuan gelar pahlawan nasional atas nama Sultan Hamid akan dimulai prosedur administrasinya dari nol lagi? Atau dua troli dokumen yang mangkrak di Depsos sudah cukup? Atau tinggal dilengkapi dengan perkembangan terkini? Karena prinsipnya semua dokumen sudah diajukan–jika dibuat baru–cukupkah ditambahkan komentar tokoh-tokoh nasional yang membuncah di sepanjang 2019-2020 pasca trending topic pernyataan mantan Kepala BIN Prof Dr AM Hendropriyono yang kini “gelar perkara” di Mapolda Kalbar? Testimoni tokoh nasional yang muncul antara lain Wakil Ketua MPR Dr Hidayat Nur Wahid bicara lantang, Prof Dr Meutia Hatta anggota Dewan Gelar bicara jelas dan tuntas. Juga pakar-pakar sejarah yang tidak cukup jari menyebutkannya 1/1. Cek di kanal YouTube tentang webinar Hamid bersama AGSI, Yayasan Sultan Hamid, MPR RI di kanal teraju.id, AGSI, bahkan live streaming banyak pihak yang mengikuti kasus mangkraknya dokumen di Depsos ini.
Publik berhak untuk tahu tentang hal ini. Berhak meneliti tentang hal ini karena menyangkut Lambang Negara yang kita gunakan dalam segala dokumen kenegaraan kita. Setiap kita berhak bersuara dan berpendapat dan mengikuti prosesnya sampai tuntas. Dus, kita pahami gelar Pahlawan Nasional adalah produk politik di bawah pena Sang Presiden. Kepada Presiden akhirnya kebijaksanaan ditujukan dan dinantikan. Hal ini super-duper serius karena di dalam Lambang Negara ada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. *