Oleh: Dr Leo Sutrisno
Sejak kunjungan saya ke Mbah Tarno di Trans Dwi Kora minggu lalu hingga hari ini, 17 Mei 2020 pukul 09:30, ketika di banyak pasar tradisional dipenuhi para pemburu baju baru dan kue lebaran, layar plasma langit belum juga terbuka.
Orang-orang di pasar itu, seolah-olah mengikuti ajakan Presiden untuk belajar hidup berdampingan dengan damai bersama Covid-19. “Kita tidak perlu panik. Kita mesti tenang dan sabar. Kepanikan adalah setengah dari penyakit, ketenangan adalah setengah dari obat dan kesabaran adalah titik tolak dari kesembuhan”. Kata Presiden pada acara Doa Kebangsaan, 14 Mei yang lalu.
Mungkin benar ucapan Presiden ini. Saya adalah salah satu contoh dari korban dari kepanikan itu. Karena semua serba baru, serba mendadak serta harus berkejaran dengan waktu maka kepanikanlah yang lebih dominan ketimbang ketenangan dan kesabaran.
Saya ungkapkan ini bukan untuk mencari siapa yang bersalah. Sungguh bukan!. Karena, kehidupan di dunia fana, seperti yang sedang Anda jalani sekarang ini merupakan proyeksi holografik dari rekaman alam semesta yang telah dijalani di masa lalu, entah kapan. Bisa jadi ucapan orang tua dulu bahwa kita tidak dapat menyingkir dari takdir. Termasuk kematian saya yang banyak orang menyebutnya ‘tragis’, contoh nyata.
Betapa tidak! Satu-satunya dokter spesialis paru di suatu provinsi zona merah meninggal karena terjangkiti virus. Bukan karena sedang merawat pasien tetapi gara-gara pasien lain yang saya rawat tidak mengaku kalau baru pulang dari negara yang termasuk pandemi.
Memang, hidup ini adalah kesempatan kata Pendeta Wilhemus Latumahina dalam lagunya. Syairnya terinspirasi dari Gal 6:10. “Hidup ini adalah kesempatan berbuat baik kepada semua orang sebab ada waktunya kita tak dapat berbuat apa-apa”. Memang betul, “Tuhan (telah) mengetahui rancangan-rancangan manusia (yang) sesungguhnya sia-sia belaka (Maz 94:11). Mestinya, kita selalu berkata, “Jadilah kehendak-Mu, Ya Tuhan”
Maaf, layar Plasma Langit telah terkembang. Saat ini, saya berada di atas speed boat Puskesmas, bersama dengan dua orang perawat. Kami sedang menuju ke sebuah pulau kecil seberang Puskesmas. Kami mengunjungi seorang nenek sebatang kara untuk pemeriksaan rutin, Bina lansia. Kali ini kami mengunjungi inik (nenek) Merry Mayang.
Syukurlah langit cerah. Di kejahuan terlihat pokok-pokok nyiur bergoyang riang mengiringi perjalanan kami. Langit biru muda dengan di sana-sini melayang mega-mega putih yang menyatu dengan buih-buih ombak dalam kehjauan laut di batas cakrawala menguatkan kesan kegembiraan alam ciptaan-Nya.
Kedua perawat yang mendapingi saya tidak tahu tentang siapa inik Merry Mayang ini. Di usia 87 tahun, bekas-bekas kecantikannya masih kuat tertinggal di tubuhnya. Warna kulitnya jangan dibayangkan hitam seperti sebagaian besar masyarakat pantai. Sama sekali tidak. Warnanya kuning langsat seperti warna kulit perempuan Mediteriania atau perempuan Libanon.
Warna ini menggaris-bawahi ukiran tato yang hampir di seluruh tubuhnya. Suatu waktu, ia mengundang kami khusus makan siang. Sambil mengupas kulit udang galah ia bertutur tentang sejumlah tato itu.
“Tato di leher ini, Bu Dokto’, adalah gambar seekor kupu-kupu yang sedang mengepakkan sayap”. Ucapnya sambil menyibak rambutnya yang tergerai lembut di leher. Ibarat kupu-kupu di lehernya itu, inik Merry, dulu, memang perantau. Kadang Singapura, kadang Kuala Lumpur. Kadang di Kuching. Akhirnya, terdampar di sini bersama suami.
“Nah, gambar yang di lengan ini”. Kata inik Mayang sambil menunjukkan kedua lengannya, “Disebut bunga Terong” Coba perhatikan kelopak bungan itu. Di lengan ini terdiri delapan kelopak. Ada dua gambar, bagian luar dan bagian dalam. Mereka bertemu. Lain dengan yang ada di punggung telapak tangan ini. Ini Cuma enam kelopak”
Dalam budaya Dayak Iban, tato Bunga Terong menandai pemiliknya golongan orang perantau yang dihorati. Itu berarti banyak pengetahuan yang sudah dipelajari.
“Yang ini” Ucap nenek sambil menunjukkan tato di betis, “Disebut Kelingai. Ini kalajengking. Sama, gambar di betis kanan dan betis kiri’
Gambar Kalajengking menghadap ke ke bawah. Dalam sikap sedang siap menghadang lawan. Sebuah isyarat kewaspadaan.
Kedatangan kami kali ini, merupakan kunjungan rutin yang menjadi salah satu program dari Bina Lansia. Karena keterbatasan alat maka yang kami periksa hanyalah suhu tubuh, kadar gula dan tekanan darah. Kondisi kesehatan inik Merry masih prima. Semua normal. Pendengaran dan penglihatan, masih berfungsi dengan baik. Giginya juga baik masih utuh. Putih bersih seperti yang ada dalam iklan-iklan pasta gigi.
Kelak, ketika saya kembali ke kampus, mendekati ujian spesialisasi, saya menerima surat pemberitahuan dari dekan bahwa salah satu penyandang dana bea siswa di banyak Fakultas Kedokteran meninggal dunia. Saya baca namannya Ny. Merry Mayang O’Dowd. Dari deretan nama-nama mahasiswa yang yang dibiayai adalah nama saya. O’Dowd adalah almarhum suami ini Merry, seorang Irlandia.
Ya Tuhan!!!. Saya baru sadar. Setiap kali saya melakukan kunjungan rutin Bina Lansia, saya selalu diperlakukan sebagai cucu bukan sebagai dokter. Saat pulang pasti disiapkan oleh-oleh, seperti yang selalu dikerjakan Ibu, jika saya kembali ke kost.
“Maafkan aku Inik Merry, atas kebodohanku. Ternyata, engkaulah yang mendanai seluruh pendidikanku. Sayang, Tuhan telah memanggilku lebih awal. Aku belum sempat meneruskan kebaikkanmu itu kepada banyak orang. Semoga di suatu waktu kelak kita dipertemukan lagi. Agar aku dapat mengucap beribu terima kasih padamu ”
Pakem Tegal 17-5-2020