Oleh: Eka Hendry, Ar.
Senin, (7/12/2020) publik negeri ini digemparkan oleh informasi bahwa telah terbunuhnya 6 orang pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS). Sejauh ini, informasi yang berkembang cenderung bertolak belakang, antara versi polisi dan Front Pembela Islam (FPI). Pada sisi ini yang menarik perhatian penulis, yaitu narasi yang dibangun kedua belah pihak. Narasinya jelas dalam posisi diametral atau bertolak belakang.
Narasi ini mudah sekali dikonstruksi berdasarkan kepentingan masing-masing pihak. Karena sejatinya publik kita sudah terbelah dari beberapa waktu terakhir. Kalau dirunut, pembelahan telah dimulai semenjak kontestasi Pilpres yang terakhir antara Jokowi dan Prabowo. Residu dari keterbelahan itu ternyata tidak malah memudar, seiring dengan telah bergabungnya Prabowo ke dalam kabinet Jolowi. Di akar rumput, perseteruan “kampret” versus “cebong”, terus berlanjut dengan beberapa formula baru.
Pamungkasnya sampai ketika kembalinya HRS dari Arab Saudi, dimana para pengikut beliau sempat memutihkan sebagian Jakarta. Dari moment ini, polemik terus menggelinding menjadi bola liar. Sampai kepada kasus yang terakhir ini (penembakan terhadap pengawal HRS).
Penulis tidak akan masuk kepada substansi atau kebenaran informasi terkait penembakan ini. Biarlah kita percayakan kepada pihak yang berwenang untuk mengungkap kebenarannya. Penulis cukup mendiskusikan bagaimana sebuah narasi di konstruksi dan dipropagandakan, sehingga publik membenarkan sendiri dengan latar belakang kepentingan dan subjektifitasnya, sampai kerancuan akan kebenaran.
Secara teori, elit (dalam hal ini bisa negara, alat kekuasaan dan kekuatan massa) memiliki power dan instrument untuk menciptakan narasi. Karena mereka ada pada level pelaku atau aktor kekuasaan, maupun kekuatan massa. Mereka dapat dengan mudah menggunakan segala modal politik dan modal sosial mereka untuk membangun pembenaran atas apa yang mereka narasikan. Termasuk, mereka punya kemampuan untuk memanipulasi kebenaran, atau memutar balik fakta.
Publik di sisi lain, akan sangat mudah bereaksi dengan “kegaduhan” tersebut. Karena ini sebenarnya tujuan dari komunikasi politik elit. Harapannya mendapatkan dukungan dan pembenaran dari publik. Berbagai logika, argumentasi dan fakta yang disuguhkan, seolah-olah paling benar dan akurat. Problemnya publik kadang tidak lagi mementingkan esensi atau kebenaran dari narasi yang ada. Karena yang jauh digandrungi publik adalah mencari narasi yang sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Jadi berlaku adagium, “sesuai dengan yang dipikirkan, bukan sesuai dengan kebenaran”.
Terlebih lagi publik sudah dalam situasi yang “terbelah”, tensi kebencian, prasangka dan stigma buruk sudah kadung dominan. Sehingga dengan mudah akan terkonstruksi meta narasi, yang di pas-paskan (dicocok-cocokkan). Jadilah narasi konspiratif, yang semekanis sebuah fuzzle. Dari situasi yang demikian, maka dapat dipastikan dialektika yang terbangun bukan lagi mementingkan esensi kebenarannya. Akan tetapi siapa yang paling pamungkas menjadi buzzer atau propagandis.
Dalam kondisi yang demikian, publik akan terkunci (gridlock) dalam labirin, dimana kebenaran sejati akan semakin pudar. Publik awam lambat laun seakan dibimbing ke dalam “belantara kegamangan”, yang lambat laun bisa mengeraskan (cementing) rasa apatisme bernegara. Merobohkan kepecayaan antara satu dengan lainnya. Dan bahkan bisa menjadi masyarakat yang rentan berpecah belah. Jika fenomena ini sampai terjadi, ini berarti isyarat, bahwa kita sedang dalam krisis yang serius.
Pada titik ini, sudah saatnya bangsa ini melakukan gerak balik, agar tidak terjerembab ke titik nadir memilukan. Kita merindukan kehangatan dan kemesraan berbangsa, bukan semata kekuatan dan kekuasaan. (*Penulis adalah Dosen IAIN Pontianak).