Oleh: Leo Sutrisno
Hari ini, kita mengenang 74 tahun Indonesia merdeka diumumkan. Ucapan syukur atas anugerah kemerdekaan ini. Terima kasih kepada para pejuang yang telah mengorbankan harta dan jiwanya demi kemerdekaan itu.
Marilah kita merenungkan apa makna kemerdekaan di era digital, era ber-HP ria.
Gagasan tentang kemerdekaan didasarkan pada ajaran: “Allah menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya sendiri”. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang berdaulat. Manusia diberi hak untuk mengembangkan dirinya. Dan, hak ini dilindungi Allah (1Kor 1:27-28). Supaya “jangan ada seorang pun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1Kor 1:29).
Dalam Kitab Suci ada tiga makna tentang kemerdekaan. Pertama, merdeka dari perbudakan di Mesir. Kedua, merdeka dalam bersikap dan berperilaku menurut tata cara budaya masyarakatnya. Ketiga merdeka untuk menolak atau menerima Kabar Sukacita. Mereka yang menerima diselamatkan, dimerdekakan dari mati. Mereka yang menolak akan dikumpulkan bersama ilalang dan kemudian dibakar.
Di era digital ini, kita dibanjiri dengan beragam informasi. Selama 24 jam dalam sehari, secara terus-menerus informasi masuk ke ruang-ruang pribadi kita.
Idealnya, informasi yang diterima itu adalah informasi yang benar. Namun, kenyataan berbicara lain.
Dinamisme komersial, menempatkan informasi sebagai barang komoditas. Akibatnya, para pemilik media yang menyampaikan informasi itu terjebak pada keinginan untuk tampil yang pertama dan yang utama. Dengan harapan, ‘rating’-nya naik.
Kenyataan tidak demikian. Mereka terjurumus pada keseragaman informasi yang dangkal. Mereka hanya menyajikan kulit-kulitnya yang dibalut dengan tutup yang menarik, yang bombastis.
Kita terjebak oleh penyeragaman sajian media informasi. Kita tidak bebas lagi. Kita terjajah oleh media informasi.
Apa yang harus kita lakukan? Kita mesti memperhatikan etika dalam berkomunikasi melalui media, med-sos misalnya.
Romo Haryatmoko, SJ, menyatakan ada tiga dimensi etika komunikasi. Yaitu: perilaku aktor komunikasi, penghormatan atas hak individu lain dari warga negara, dan ajakan untuk menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.
Pelaku komunikasi harus berkehendak baik untuk bertanggung jawab. Informasi yang disajikan harus benar, tepat, lengkap, dan jujur.
Hak individu harus dilindungi. Di antaranya adalah: hak ‘privacy’, nama baik, serta hak atas kesehatan mental dan fisik.
Ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat diwujudkan dalam bentuk larangan sajian yang provokatif atau dorongan yang akan membangkitkan kebencian..
Jika etika dalam berkomunikasi ini diterapkan maka kemerdekaan berkomunikasi di era digital ini akan terwujud.
Berkomunikasi secara etis seperti ini merupakan salah satu cara untuk mewujudkan hidup bersama orang lain dengan damai.
Bapa Uskup Agung Semarang, dalam sapaannya untuk memperingati HUT ke-74 Kemerdekaan Indonesia, mengingatkan bahwa keberagaman seperti yang terjadi di Indonesia ini sungguh dikehendaki Allah. Kebijakan ilahi ini adalah sumber dari hak kebebasan berkeyakinan dan hak untuk menjadi berbeda.
Panggilan Allah untuk menghormati sesama adalah penggilan untuk menjadi orang-orang merdeka yang tidak menyalahgunakan kemerdekaannya tetapi hidup sebagai hamba-hamba Allah yang saling menghormati satu sama lain.
Dalam keberagaman inilah etika hidup bersama dengan orang lain menjadi penting. Etika hidup bersama dengan orang lain yang berlaku sama di seluruh Indonesia, seperti etika berkomunikasi, mendesak untuk dikonstruksi. Semoga!