Oleh: Nur Iskandar
Saya tahu ayah saya punya semangat agronomi. Di subuh hari, selepas sholat sudah asah parang. Terus menyusuri kebun. Banyak Musa paradisiasa, L dikembangkannya.
Nipah Kuning punya. Dia punya rasa istimewa. Tumbuh mekar di kebun, yang walaupun sudah bermetamorfosis jadi kompleks perumahan Rafflesia Residence di Sungai Raya Dalam, tetap ada yang bertahan. Hidup beberapa rumpun. Terutama berhimpitan pagar dengan Tower Telkom yang jatuh azimutnya di tanah orangtua.
Saya coba gali anakan si Nipah. Angkut bawa ke pekarangan rumah sepeninggal ayah, 2013 lalu. Tumbuh. Panen berkali-kali. Anak pinaknya dikembangkan pula di Kebun Kampoeng English Poernama Agro Cahaya Baru juga di Sintang.
Saya mau amal Ayah terus berkembang walaupun nyawa Ayah telah terbang kembali pulang. Kembali ke Sang Pencipta.
Kisah si Nipah ternyata di luar ekspektasi linear. Ada skenario Tuhan yang saya tak pikir bisa terjadi. Kisahnya gini:
Suatu hari pekarangan rumah saya direhabilitasi. Rumpun nipah dua titik dikurangi. Satu rumpun saja dipertahankan, satu lagi dibongkar. Nah bongkaran ini dicincang halus dan dibawa ke lahan kosong seberang jalan kompleks. Rupanya cincang halus jadi kalus bagaikan praktikum Kultur Jaringan. Anakan tumbuh dari sekedar bonggol gedebong kosong. Begitu rupanya Allah membuat sesuatu itu hidup. Saya terkesima. Bahwa dari sekedar tukuk daging bonggol pun bisa tumbuh sehat dan rimbun jika Dia berkehendak. Banyak anakan. Sementara saya sempat dua-tiga kali membawa anakan dari kebun ayah ke Purnama tapi keempat kalinya barulah tumbuh subur dan beranak-pinak. Beda kisah jika Dia yang berkehendak. Bonggol dilempar pun bisa tumbuh jauh lebih subur daripada campur tangan agronom! Wasilah nan luar biasa.
Sayang dengan banyak anak-anak si Nipah Ayah saya ambil langkah pisah. Sisihkan anakannya, lalu hatur berjajar. Tanam mereka berhaturan.
Aksi setahun lalu itu berbuah. 3 pohon menggantung dengan eksotiknya…satu tandan pertama telah digoreng dengan maknyos rasanya. Berbagi rasa dengan kolega.
Kawans yang datang dan disuguhi si pisang goreng mau tambah dan tambah. “Lembut. Manis. Legit. Membawa kenyang. Beda dengan yang dijual di pasaran,” katanya. “Secara buahnya begar dan besar. Ini Pisgor digoreng sendiri lagi,” pujinya yang menjadi vitamin saya buat adrenalin merawat dan memperbanyak–menyebar Nipah ke berbagai daerah. Giat Kampoeng English Poernama Agro pada lahan-lahan marjinal.
Satu tandan lagi kini sudah tua. Dua minggu lagi insya Allah panen. Satu tandan ketiga baru diputus si jantung bak ayam menggantung, Sabtu, akhir pekan ini. Tarikh Masehi, 6 Februari. Anakannya pun rimbun. Saya taksir si tandan ketiga akan panen menjelang Ramadhan–Maret atau awal April yang akan datang. So kita sambut Ramadhan dengan gorpis–Goreng Pisang hehehe.
Dari kisah Nipah ini saya baru sadar bahwa kehendak Tuhan itu berdikari. Kiyamuhu Binafsihi. Berdiri Sendiri.
Dia suburkan sesuatu sekehendak-Nya. Kita hanya memindahkan saja. Bahkan tukang kayu pun hanya main lempar saja…kehidupan ajaib terjadi di depan mata…
Saya terkesima.Sebab saya dididik ayah bahwa Allah Sang Maha Pencipta itu menghidupkan setiap makhluk dari alam kuburnya seperti bebijian tumbuh jadi kecambah–sebab disiram air hujan belaka.
Kun Faya Kun. Kalau Allah berkehendak, nyawa boleh putus, tapi pahala mengalir terus. Jadi kata-Nya, maka Jadilah dia.
Sebabkan pisang, saya merasa Ayah selalu ada…Beliau ada di rumah. Ini wasilah metafora. Bahwa hidup sebenarnya terus hidup. Hanya badan saja tidak tampak karena dikubur–tapi ruh–edukasinya–terus hidup–di dunia. Live!
Setiap kali saya melihat Nipah, setiap kali pula serasa ada ayah bersama. Kami bercengkrama. Menkmati pisgor dengan gelak tawa ceria.
8 tahun ayah telah tiada tapi serasa tiada berpisah. Wasilah Nipah. Alfatihah. *