Olreh: Leo Sutrisno
Dua hal yang mengancam cara hidup (orang Jawa) yang tepat, yaitu: napsu dan pamrih. Napsu-napsu (nêpsu) yang paling terkenal di kalangan masyarakat Jawa adalah ‘mâlimâ’- madat, madon, mangan, main dan minum. Napsu adalah perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri dan membelenggu seseorang pada dunia lahir. Bagi orang Jawa, napsu-napsu itu berbahaya karena membuat seseorang meninggalkan akal budinya.
Untuk mengontrol napsu-napsu, seseorang melakukan ‘laku tapa’, prihatin. Misalnya: mengurangi makan dan tidur, menguasai diri di bidang seksual dsb. Laku tapa bukan menjadi tujuan, tetapi sarana untuk menguasai tubuh, mengatur dan ‘membudayakan’ (dan bukan meniadakan) dorongan-dorongan napsu. Sehingga, pada dirinya terjadi keseimbangan batin dan memenuhi keselarasan sosial (rukun).
Bahaya lain yang mengancam cara hidup yang tepat (menurut orang Jawa) adalah ‘pamrih’. Bertindak karena ‘pamrih’ berarti hanya mengusahakan kepatingan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Orang sering memadankan dengan istilah ‘egois’. Dalam konteks sosial, pamrih selalu mengacau karena tidak memperhatikan keselarasan sosial.
Pamrih dapat terlihat dalam beberapa sikap. Selalu ingin menjadi orang yang pertama (mênangé dhéwé), menganggap dirinya selalu betul (bênêré dhéwé), dan hanya memperhatikan keperluan sendiri (butuhé dhéwé). Selain itu juga terlihat pada kebiasaan menarik keuntungan dari setiap situasi tanpa memperhatikan masyarakat (aji mumpung). Pamrih juga muncul dengan menganggap bahwa dia mempunyai hak lebih banyak dari yang lain karena berjasa (dumèh).
Sikap dasar yang dianggap luhur (oleh orang Jawa) adalah jauh dari pamrih (sêpi ing pamrih). Seseorang yang ‘sepi ing pamrih’ tidak lagi gelisah dan prihatin terhadap diri sendiri. Ia ssemakin lepas dari napsu ingin memiliki. Dan, tentu saja, menjadi tenang hidupnya.
Mangga kaoncekana.
Nuwun
Pakem tegal 13-2-2019