Oleh Turiman Fachturahman Nur
Perjuangan Gubernur Kalimantan Barat Drs Cornelis, MH dilanjutkan H Sutarmidji, SH, M.Hum sudah luar biasa, inilah perjuangan usulan pahlawan nasional terlama dalam sejarah pemerintahan dengan melakukan riset 20 tahun yang secara administrasi lengkap, maupun subtansi. Dewan Gelar perlu meresponnya dengan positif. Dan akhirnya hak pregrotatif ada di tangan Presiden RI.
Mengapa Sultan Hamid II terjadi prasangka dan berkembang difitnah sebagai “pengkhianat”? Berbagai alasan yang tendesius dialamatkan kepada Sang Perancang Lambang Negara. Mari kita lihat akan rasional obyektifnya:
- Pendidikan Sultan Hamid di Belanda bukan berarti Kebelanda-belandaan! Bukan Sultan Hamid II saja yang mendapatkan pendidikan di Belanda, bahkan banyak sekali tokoh politik nasionalis Indonesia yang mengenyam pendidikan di Belanda, apakah artinya mereka semua juga penghianat bangsa? Mohammad Hatta juga pendidikan Belanda. Sultan Hamingkubuwono juga pendidikan di Belanda. Hingga kini banyak generasi muda Indonesia belajar di Belanda.
- Hamid anggota KNIL hingga berpangkat Mayjen: Perlu diketahui bahwa KNIL adalah ketentaraan Hindia Belanda (Indonesia). KNIL menjaga keamanan dan ketertiban di tanah Hindia Belanda. Bukan hanya Sultan Hamid II saja yang menjadi anggota KNIL, bahkan banyak sekali tokoh bangsa yang menjadi anggota KNIL, sebut saja AH Nasution, Oerip Soemahardjo, Alex Kawilarang, TB Simatupang. Apakah mereka semua penghianat?
- Salah satu jasa Hamid adalah mewakili BFO dalam Konferensi Meja Bundar, di mana Sultan Hamid II merupakan Ketua BFO (Majelis Permusyawaratan Negara Federalis, tanpanya mustahil pemerintah Belanda mau mengakui dan menyerahkan kedaulatan kepada RIS, pada 27 Desember 1949. KMB disaksikan oleh UNCI (lembaga khusus mewakili liga bangsa-bangsa/PBB sekarang).
- Sultan Hamid II difitnah sebagai penghianat karena peristiwa Westerling dalam kasus APRA, dan keputusan pengadilan menyebutkan bahwa Sultan Hamid II tidak bersalah dan membebaskan dari tuduhan primer atas Peristiwa Westerling. Kendati demikian tetap diberikan hukuman 10 tahun penjara hanya sebagai hukuman politik. Dan fakta memang menunjukkan demikian adanya dengan gentleman ia menerima keputusan tersebut, yakni adanya niat yang dibatalkan, sehingga tidak ada peristiwa pidana apapun dan tidak ada korban apapun. Hukuman itu lebih cenderung pemikiran ide politik federalnya dan pertentangan tentang ketidak setujuan inti angkatan tentara RIS yang masuk ke DIKB, yang mana Sultan Hamid II memasukan kompi Dayak.
- Sultan Hamid II merupakan salah satu pejuang bangsa, ketika melakukan perjuangan sengit melawan pendudukan Jepang, bahkan ketika Proklamasi Kemerdekaan Sultan Hamid II masih dalam tahanan penjara Jepang, sedangkan ayah ibunya serta kerabat besar keluarga Al-Qadriyah Pontianak dibantai oleh Jepang yang disebut sebagai peristiwa Mandor, bahkan puluhan ribu penduduk Kalbar juga dibantai oleh Jepang. Sedangkan beberapa tokoh bangsa memilih untuk “bekerja sama” dengan Jepang, saya tidak tahu siapa yang menjadi penghianat?
- Kesalahan dan dosa terbesar dari Sultan Hamid adalah konsistensi dalam perjuanganya atas ide federalisme sebagai bentuk terbaik sebagai benruk negara Indonesia, tetapi bahkan dalam hal ini bukan ia sendiri sebagai pendukung “pilihan” tersebut, ada Ide Anak Agung Gde Agung, Muhammad Hatta dan beberapa yang lainnya seperti Romo Mangunwjiya, Amien Rais dan ribuan bahkan jutaan warga bangsa Indonesia yang lainnya. Bahkan Presiden Negara RIS (Republik Indonesia Serikat) adalah Presiden Soekarno sendiri, apakah ia penghianat juga? Satu hal yang patus dicatat, bahwa bahkan ketika Sultan Hamid II mendukung Indonesia sebagai negara federalis, ia tetap menolak keinginan Pemerintah Belanda untuk menjadikan Kalimantan Barat sebagai bagian dari negara Belanda, tetapi sebagai Daerah Istimewa Kalimantan Barat, sebagai satuan kenegaraan berdiri sendiri atau wilayah otonom, lihat pasal 2 b Konstitusi RIS 1949.
- Sampai akhir hayatnya Sultan Hamid II tetap meyakini, bahwa bentuk Negara Federalis Indonesia adalah bentuk negara yang terbaik untuk Indonesia “Dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa, timbullah keinginan saya, bahwa bentuk federalism itulah yang paling cocok bagi negara Indonesia, untuk menjadi negara yang kuat, makmur dan sejahtera”. Jadi ide pemikiran namun Sultan Hamid II tetap nasionalis karena kesediaan bergabung ke negara 17 Agustus 1945 bersama 16 negara bagian yang terdiri 8 negara bagian dan 8 daerah otonom.
- Jasanya yang lain adalah sebagai perancang Lambang Negara Garuda Pancasila, hal itu tidak bisa dilupakan dan dinafikan, tidak ada keraguan lagi, apakah seorang penghianat bangsa dan negara akan melakukan hal itu, seperti kata-katanya : “Mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan untuk bangsa saya dan mudah mudahan sumbangan saya (Lambang Negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita”. Sampai kapanpun dan berapapun banyaknya orang yang menuduh dirinya sebagai penghianat, Garuda Pancasila akan selalu terpampang jelas di atas, selalu kita hargai dan hormati, sadar atau tidak sadar, demikian juga namanya sebagai perancangnya.
- Sultan Hamid II, adalah seorang negarawan sejati, yang tidak mengenal rasa dendam kepada siapapun termasuk lawan-lawan politiknya. Ketika Bung Karno sedang sakit diakhir hayatnya, Sultan Hamid II mengunjunginya dan berbisik kepadanya: “Saya Hamid, bung. Maafkan kesalahan saya dan kesalahan bung saya maafkan”. Dan bung karno pun meneteskan air mata. Hanya seorang negarawan besar yang bisa melakukan hal seperti itu. Berjiwa pemaaf. Berjiwa ikhlas. Berjiwa penyantun.
- Penghianat itu adalah orang-orang yang berusaha membelokkan sejarah dan melupakan jasa para pahlawannya. Sedang kami meluruskan sejarah Kalimantan Barat dalam time line sejarah bangsa Indonesia.
- Atau mungkin hanya karena ia adalah seorang Muslim, yang kebetulan juga bangsa Indonesia keturunan Arab campuran Dayak dari eyang buyutnya Habib Hussen Alkadrie yang menikahi wanita Dayak dari Matan Tanjungpura, sehingga muncul kebencian dari orang-orang yang tidak menyukai hal tersebut, Sultan Hamid II meninggal pada tanggal 30 Maret 1978, ketika sedang melakukan sholat maghrib.
- Sultan Hamid II, bukan hanya milik Kalbar tetapi milik bangsa Indonesia ia sudah mengorbankan wilayahnya untuk bergabung ke negara 17 Agustus 1945 dalam satu wadah RIS yang sejajar ketika itu dengan negara Proklamasi dan kembali ke bentuk negara kesatuan, Sultan Hamid II sebagai orang Indonesia setuju hanya caranya saja membubarkan DIKB karena federasi gabungan 12 swapraja sebagai wilayah otonom dan 3 neo swapraja wilayah temenggungan saudara kami dari etnis Dayak, ini yang tidak pahami oleh sejarahwan yang “cenderung” Jawa sentris sudah waktunya mikhul dhuwur mendem jero, kami kaum yang egaliter jangan membuat stigma negatif terus kepada Sultan Hamid II yang bagi kami adalah pemersatu di Kalbar yang multi etnis yang disatukan dalam DIKB.
- 1945 Sultan Hamid II kembali ke Pontianak setelah lepas dari tahanan Jepang, 1946 Sultan Hamid II konsolidasi Kesultanan Pontianak dan berupaya menemukan jasad ayahnya Sultan Muhammad Alkadrie yang dibunuh Jepang, 1947 mendirikan federasi kerajaan dan kesultanan di Kalbar bersama tokoh Dayak dan lintas etnis dalam wadah DIKB, 1948 Sultan Hamid II bergabung dalam BFO dan akhirnya terpilih menjadi ketua BFO, 1949 bertemu dengan Bung Karno di Muntok dan menemui para tahanan politik Belanda, terjadi kesepakatan untuk perjuangan diplomatik bagaimana caranya memberhentikan tembak menembak atau penundukan kembali Belanda diaturlah strategi diplomatik perundingan inter Indonesia ke 1 di Yogyakarta dan 2 di Jakarta serta tahap akhir di Den Haag, KMB, 27 Desember 1949 dan terbentuklah RIS dan DIKB bergabung dengan NKRI dalam wadah RIS pasal 2 b Konstitusi RIS 1949 dan 1950 merancang Lambang Negara RI yang ditetapkan 11 Februari 1950 dan didisposisi Soekarno 20 Maret 1950, akhirnya dipakai oleh NKRI berdasarkan pasal 36 A UUD Neg RI 1945. Gambar resmi yang dirancang terakhir dengan skala ukuran dan tata warna dilampirkan resmi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara berdasarkan Pasal 6 dan dideskripsikan dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 pasal 46 sd pasal 57 dan akhirnya buah karya Sultan Hamid II menjadi benda cagar budaya peringkat nasional 2016, dan disertifikatkan oleh negara 2018 melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional. (Penulis ada pakar hukum tata negara Universitas Tanjungpura–peneliti Sultan Hamid II Alkadrie).