Oleh: Ambaryani
Dua (2) malam lalu, saat perkuliahan online, Dr. Erdi yang mengampu mata kuliah Ekonomi Politik Pembangunan membagikan tulisan beliau berjudul; Sinergi Sawit dengan Daya Saing Kalbar. Dalam tulisan beliau, sawit di 14 kabupaten kota di Kalbar sedang booming.
Membaca tulisan beliau, saya jadi teringat kampung halaman. Cerita soal sawit di Satai Sambas. Kampung saya termasuk kampung hulu Sambas yang belakangan akrab dengan sawit.
Saat masih kecil di kampung saya ikut ke sawah menan padi, menunggui (menjaga) padi dari serangan burung pipit, memanen sayuran, memetik kopi dan asiknya panen lada. Masyarakat di kampung saya dulu tak tergiur pesona sawit saat di Sepandak, Sapak Hulu sudah mulai peralihan lahan untuk perkebunan sawit.
Bahkan dulu Bapak saya pernah ditawari kebun sawit, tak tertarik. Masih bertahan menggarap ladang, mengharapkan lada. Saat harga lada terus anjlok, dari harga tertinggi tahun sekitar tahun 97, mencapai Rp. 150.000 per kg hingga tak sampai Rp. 50.000 per kg. Masyarakat di kampung mulai berpikir, untuk berpindah ke lain hati.
Mereka mencoba menanam karet. Melihat keberhasilan penduduk asli pesisir hulu sungai Sambas. Mereka terbilang mapan pada masa kejayaan karet. Kebun-kebun yang masih ada pohon lada ditanami karet. Lambat laun lada punah dan berganti karet.
Karet sempat menjadi andalan warga, hingga kemudian dihadapkan pada situasi harga yang rendah. Pada sisi yang lain, sawit di desa tetangga mulai panen.
Sampai di sini bisa diterka apa nasib si karet. Kemudian ditumbangkan dan diganti dengan pohon sawit yang dianggap lebih menjanjikan. Masyarakat kampung saya punya tolak ukur lain lagi soal kesuksesan. Banyak orang sukses dari berkebun sawit, begitu katanya.
Kebun-kebun karet kemudian berubah menjadi hamparan sawit. Mereka semangat, merawat sawit, agar kelak dapat menjadi andalan. Untuk sesaat apa yang diharapkan diperoleh.
Tapi lagi-lagi, ternyata berkebun sawit tak semudah yang dibayangkan. Hasil pun tidak semulus harapan. Harga sawit anjlok hingga hanya Rp. 500 per kg. Mereka kelimpungan, hasil tak memadai dengan biaya perawatan. Masih untuk ada sektor lain dapat menopang kehidupan mereka.
Kini saat harga sawit tinggi kembali, dan menyentuh angka 1.500 per kg untuk buah segar. Harapan cerah membayangi mereka.
Tapi, belakangan mereka galau. Buah sawit banyak. Sementara jalan tidak memadai. Jalan hancur. Truk kesulitan menuju pabrik. Bisa 2-3 hari nginap di jalan. Al-hasil buah banyak rusak, busuk saat sampai pabrik. Harga jual turun karena buah tak segar lagi dan dihargai Rp. 1.200 per kg begitu sampai pabrik.
Masalah jalan sebenarnnya menjadi hal rutin di kampung saya jika musim penghujan begini. Jalan kampung yang hanya tanah kuning, menjadi kubangan lumpur yang sulit ditaklukkan. Bahkan jarak jalan yang hanya kurang lebih 13 km memerlukan waktu tempuh seharian berkendara motor. Padahal jika jalan kering hanya membutuhkan waktu tempuh 30 menit.
Jalan becek sekarang sudah dirasakan hingga 23 tahun berlalu. Jalan yang dulu kami lalui saat SD hingga kini masih tetap tanah kuning licin jika musim hujan. Dari jalan dilalui untuk angkut hasil panen padi, hingga berubah untuk angkut sawit kondisinya masih sama.
Bedanya, hanya, dulu jalan yang menjulang tinggi kini sudah agak landai. Bebatuan yang pernah ditabur untuk menutup tanah yang becek pun, menyingkir hilang dan kemudian becek kembali. Walaupun dari hasil penjualan sawit sudah dipotong untuk perawatan jalan. Tapi ya, begitu lagi-begitu lagi. (Penulis adalah Mahasisa S2 Prodi Ilmu Administrasi Publik Fisipol Untan Pontianak)