Oleh: Suci Nurul Baiti *
Pagi itu sangat menegangkan bagi siswa/i SMA. Karena amplop kelulusan yang diterima akan membuat mereka bahagia ataupun sedih. Mengemban pendidikan di masa SMA selama 3 tahun segera berakhir, hingga hal ini akan membuat mereka bebas untuk memilih “lanjut kuliah atau bekerja”.
Pendidikan bagi seorang pelajar adalah sebagai proses perubahan intelektual, emosional dan spiritual. Ketiganya dipandang sebagai pembentukan dasar bagi keberlangsungan hidup selanjutnya. Amanah ini diemban oleh pendidikan. Lantas apakah ketiga domain tersebut dapat memberikan peran signifikan dalam perubahan kepada kebaikan untuk menjadi manusia seutuhnya?
Selasa (2/5/17) pengumuman kelulusan siswa tingkat SMA se-derajat bertepatan langsung dengan HARDIKNAS. HarDikNas adalah Hari Pendidikan Nasional yang dirayakan secara luas di Indonesia. Perayaannya biasa ditandai dengan pelaksanaan upacara bendera di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, dari tingkat kecamatan hingga pusat, disertai dengan penyampaian pidato bertema pendidikan oleh pejabat terkait. Namun, bagaimana cara siswa yang baru saja selesai menerima amplop kelulusan merayakan HarDikNas tersebut? Dua pertanyaan di atas, mungkin sedang menari-nari di pikiran kita.
Bagaimana para pelajar merayakan kelulusan memang bukan parameter kualitas pendidikan, namun merefleksikan moralitas generasi muda. Pasalnya, selebrasi kelulusan siswa semakin hari semakin kelewatan. Boleh saja mereka merayakan rasa senang atas berakhirnya 3 tahun perjuangan, tetapi bukan berarti mereka bisa seenaknya melupakan batasan norma.
Aksi corat-coret yang seolah sudah menjadi ritual tahunan ini memicu kekhawatiran para orangtua. Akhir-akhir ini ramai pemberitaan bahwa corat-coret baju sekolah yang dilakukan tidak lagi mencerminkan akhlakul karimah. Semprotan cat dan goresan spidol banyak dilakukan di bagian-bagian tubuh sensitif dan dilakukan oleh lawan jenis. Banyak foto-foto beredar di facebook menggambarkan buruknya karakter muda-mudi yang membiarkan tubuh mereka disentuh oleh tangan-tangan amoral.
Mirisnya, pengumuman kelulusan siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) itu berbarengan dengan perayaan Hari Pendidikan Nasional. Masih segar euforia ketika para siswa menemukan nama mereka di papan pengumuman kelulusan, kini hadir perayaan hari pendidikan. Evaluasi sudah selayaknya dilakukan terhadap akhlak lulusan SMA maupun SMP. Karena pada hakikatnya, pendidikan bukan sekedar menyampaikan ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai.
Manusia terdidik akan mampu mem-filter mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan nilai-nilai tersebut. Potret pemuda yang corat-coret baju itu demikian jelas menggambarkan bahwa mereka tidak memiliki karakter yang baik. Suksesnya proses pendidikan seharusnya memproduksi manusia-manusia dewasa berakhlak mulia, bukan anak-anak alay yang kerjanya hanya senang-senang.
Meskipun tidak semua siswa yang melakukan demikian, ada sebagian siswa melakukan hal-hal positif. Sebagai contoh sebagian siswa yang berada di Yogyakarta, mereka merayakan kelulusannya dengan cara membagikan sebanyak 2000 nasi bungkus dan 3000 susu kepada masyarakat tak mampu. Hal ini menggambarkan bahwa pendidikan yang ia emban selama 3 tahun, menghasilkan moral yang berakhlak dan mampu berfikir jernih.
Lebih eloknya dalam memperingati hari tersebut sebaiknya dengan melakukan Gerakan Sedekah Pakaian seragam SMA/Se-Derajat kepada yang lebih membutuhkan. Agar esensi dari rasa syukur terhadap kelulusan tersebut dapat dirasakan kebahagiaan oleh adik-adik di pedalaman yang lebih membutuhkan pakaian seragam layak pakai.
Jadi, pada intinya orang berilmu itu bergerak pada dua dimensi, dimensi ke dalam dan dimensi ke luar. Dimensi ke dalam menanyakan pada hati nurani senantiasa mengoreksi diri sambil tertegun merenung, dimensi ke luar adanya perbaikan sikap dan tingkah laku dalam rangka membangun lingkungannya. (Penulis adalah mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, IAIN Pontianak)