Oleh: Nur Iskandar
Disebut-sebut nama Lim Bak Meng alias Petrus Limbung sebagai anggota BPH (Badan Pemerintah Harian) Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang dipimpin Sultan Hamid II Alkadrie. Lim Bak Meng dipilih Sultan Hamid karena kecakapannya dan kepemimpinannya yang bertumbuh selaku anak muda dari pinggiran Kota Pontianak. Ia representasi dari perwakilan etnik Tionghoa yang diaspora di bumi Khatulistiwa.
Tidak banyak referensi tentang Lim Bak Meng alias Petrus Limbung ini. Syukurlah Anton Surya menulis sebuah artikel dan diparkir di laman Kompasiana sebagai berikut: [Rumah sederhana di Jalan Siaga II, Kabupaten Kubu Raya. Andreas Hadi (65 tahun) keluar dari kamarnya, sambil menenteng tumpukan dokumen yang diikat dengan seutas tali. Ia bukan main bangganya. Ia baru saja menerima piagam dan medali kepahlawanan untuk Almarhum Ayahnya, Lim Bak Meng alias Petrus Limbung. Piagam itu dikeluarkan oleh Badan Pembudayaan Kejuangan Angkatan 45, atas jasa-jasa almarhum.
“Sudah lama kami memperjuangkan nama bapak (Lim Bak Meng). Tapi baru sekarang kita merasa benar-benar dihargai. Kami mengumpulkan ratusan dokumen dan foto-foto tentang bapak,” kata Andreas sambil menepuk tumpukan kertas-kertas kuno yang cukup tebal.
Lim Bak Meng, nama itu asing bagi orang Indonesia, termasuk di kalangan Tionghoa sekalipun, tapi jasa dan perjuangan beliau sangat besar bagi Indonesia.
Lim Bak Meng merupakan pemuda keturunan Tionghoa yang lahir di Nibung Seribu Pontianak (sekarang Kubu Raya) pada 22 September 1908. Dia adalah seorang pejuang dari Kalimantan Barat dan politisi Partai Persatuan Dayak. Namanya terkenal pada tahun 40 sampai 70-an, karena ia banyak menempati jabatan penting di Kalimantan Barat.
Sejak Sekolah Menengah Atas, ia sudah ikut organisasi olahraga seperti organisasi sepak bola, basket, dan tenis di Sanggau, Sambas, dan Mempawah.
Karir politik dan kontribusi di era Pra-kemedekaan, Lim mengikuti gerakan politik nasionalis di bawah partai Persatuan Indonesia Raya yang memperjuangkan kemerdekaan. Dan selain itu pula, Lim aktif mengajarkan dan menyebarkan Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Tionghoa daerah Sungai Pinyuh, Ketapang, Sambas, Mempawah, Sekadau, dll.
Pada 1941, didirikan sebuah partai bernama Dayak in Action (DIA) di Putussibau dengan ketua pada awalnya adalah FC Palaoensoeka dan seorang pastor Jawa Adikarjana dan Lim menjadi bagian dari partai ini. Lalu, partai ini dipindahkan ke Pontianak dan namanya diubah menjadi Partai Persatuan Dayak pada 1 November 1945.
Setelah kemerdekaan, pada masa Revolusi Kemerdekaan, perannya begitu penting dan menonjol. Maka, pada 12 Mei 1947, ia menjadi anggota dewan administratif Daerah Khusus Kalimantan Barat yang disebut Dagelijk Bestuur atau Badan Pemerintah Harian (BPH); dari orang PPD ada Oevaang Oeray, Lim Bak Meng sendiri (orang Cina Katolik) dan AF Korak. Dan ada pula HM Sauk yang bukan dari PPD.
Bersama Dr. Soedarso, Thomas Blaise, Hasan Fattah, Ismail Hasan, dan tokoh-tokoh lainnya mendirikan Badan Pemberontakan Indonesia Kalimantan Barat dan tokoh seperti Thomas Blaise melakukan gerakan bawah tanah di daerah pesisir Kalimantan. Perjuangan itu terus dilakukan hingga persetujuan Konferensi Meja Bundar tahun 1949.
Pada tahun 1950, Partai Dayak kekurangan dana untuk kongres partai. Lim Bak Meng membuat sebuah perusahaan perdagangan kecil, tapi perusahaan ini tidak sukses yang namanya NV Tjemara. Perusahaan ini ia buat untuk mendanai kongres Partai Dayak pada tahun itu. Partai ini sudah melakukan 2 upaya lain, yakni mengharapkan bantuan relawan dan membuat suatu kebijakan lain, yakni 3 persen PNS Dayak disuruh memberikan 3% gaji mereka untuk pendanaan ini.
Liem Bak Meng dicatat sebagai tokoh pejuang yang mengedepankan pluralisme dan NKRI. Liem Bak Meng tetap berpegang teguh pada NKRI, meskipun kurun 1950, berdiri Republik Indonesia Serikat (RIS). Saat penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia (khusus wilayah Kalbar), tepat pukul 16.00, 29 Desember 1949, bersama-sama dengan Oevaang Oeray, Korak Guru Saleh, dan M Rifai, ia menurunkan bendera Belanda, lalu menggantinya dengan Sang Saka Merah Putih.
Liem Bak Meng juga memiliki kontribusi besar pada pembebasan Irian Barat. Ketika itu, pada 20 Mei 1958 dia menjadi anggota Dewan Pleno Front Nasional Pembebasan Irian Barat di daerah Kalimantan Barat. Dia juga tercatat sebagai pendiri klinik “Kharitas Bhakti”, yang sekarang dikenal sebagai RS Kharitas Bhakti di Pontianak.
Pada 1951 ia menjadi anggota KMK Kalbar. Tahun 1952 ia mendirikan Partai Katolik Komisariat Kalbar dan memegang jabatan Ketua I. Partai ini kemudian menjadi salah satu yang paling diperhitungkan di Kalbar saat itu. Kemudian, pada 20 Mei 1958 dia menjadi anggota Dewan Pleno Front Nasional Pembebasan Irian Barat di daerah Kalimantan Barat. Dia juga tercatat sebagai pendiri klinik “Kharitas Bhakti”, yang sekarang dikenal sebagai RS Kharitas Bhakti di Pontianak.
Pada tanggal 6 November 1958, ia dilantik oleh Mendagri sewaktu itu, Sanusi Hardjadinata sebagai anggota DPRD Kalbar bersama kesebelas kawannya yang lain dari PPD. Tahun 1959, ia disumpah menjadi angora Dewan Daerah Swatantra Tingkat I Kalbar. Pada tahun ini pula, ia menjadi Pembina Lembaga Kesatuan Bangsa.
Pada tahun 1960, sewaktu Konfrontasi Indonesia-Malaysia, ia diutus ke Sarawak untuk menjajaki kekuatan Belanda. Dan menjadi spionase tentu saja mesti total. Saat pergolakan G30S yang membawa-bawa nama PKI, PGRS, dan Paraku, ia ditunjuk oleh Pangdam Tanjungpura saat itu, AS Witono untuk memimpin misi sosial dan gerakan pembauran etnis Tionghoa. Peralihan Orde Lama ke Orde Baru banyak memeras tenaganya.
Pada masa Orde Baru, ia diharuskan mengganti nama, dari nama Tionghoa ke nama yang lebih Indonesia. Pada masa 1970-an ia lebih dikenal dengan nama Petrus Limbung. Petrus adalah nama baptisnya, sedangkan Limbung adalah nama marga dan desa kelahirannya. Ia masih aktif di perpolitikan sampai pertengahan tahun 1970-an. Jabatan terakhirnya adalah Ketua V Golkar Kalbar.
Di masa tuanya, ia tak pernah menerima penghargaan, materi, atau piagam apapun. Bahkan saat pihak keluarga ingin mengambil uang pensiun, mereka pun ditolak. Keluarga Lim masih memegang SK itu, tapi SK tersebut ditolak dengan berbagai alasan. Baik Liem Bak Meng masih hidup hingga jandanya pun tidak pernah mendapatkan santunan seperti tokoh pejuang lainnya,” ungkap anaknya, Andreas Hadi Limbung.
Ia menceritakan, justru pernah mengurus pensiunan alharhum dengan menunjukkan semua dokumen yang lengkap termasuk surat bukti dan semuanya, tetapi tidak pernah diakui pemerintah dan ditolak oleh pemerintah saat itu.
Kendati demikian, ia mengatakan akan tetap melanjutkan perjuangan almarhum Lim Bak Meng yang belum selesai. “Karena sebelum meninggal dunia, saya satu-satunya yang ditunjuk bapak untuk melanjutkan cita-cita bapak, yaitu mempersatukan bangsa,” ucapnya.]
Saya sering mendengar nama Lim Bak Meng disebut-sebut oleh Sekretaris Pribadi Sultan Hamid, Max Jusuf Alkadrie. Terutama jika dia bersua dengan tokoh-tokoh kritis bermarga Tionghoa. “Ini Lim Bak Meng muda,” ungkapnya. Sebut salah satu yang dirujuknya adalah politisi Partai Bhineka Tunggal Ika (BTI) kala itu cukup “naik daun” yakni Andreas Acui Simanjaya. Sayang Acui hanya sekali duduk di DPRD Kalbar. Partainya bubar, dia juga tak berkesempatan lagi duduk di kursi wakil rakyat tingkat provinsi. Tokoh muda kritis lainnya disebut-sebut Andrew Yuen. Sayangnya setelah menyelesaikan studi S1, dia tak terlihat aktif lagi di berbagai forum maupun lembaga.
“Dulu Sultan Hamid melalui DIKB sudah berpikiran pluralis, majemuk, semua kelompok dan golongan ada keterwakilannya,” tukas Max Jusuf mengomentari dianugerahkannya Abdurrachman Wahid sebagai tokoh pluralis Indonesia dari masyarakat Tionghoa. “Pemikiran Gus Dur, itu pula yang diperjangkan Sultan Hamid di DIKB. Itu juga perjuangan Republik Indonesia Serikat,” ujar Max Jusuf. Benang merah tulisan Anton Surya dengan Sultan Hamid memiliki sambungan soal nasionalisme kebangsaan membangun keadaban dan kemakmuran persada Khatulistiwa–kepulauan Nusantara. *