in

Terminal Terakhir

leo

Oleh: Dr. Leo Sutrisno

Sudah sekitar satu jam aku berdiri di depan pintu gerbang ini. Satu per satu, mereka meninggalkan tempat ini tanpa menoleh kepadaku, walau aku sudah menangkupkan kedua telapak tangan sambil mengangguk dan mengucap terima kasih.

Tengah malam baru saja dilewati. Angin berhembus kencang menggoyang riang rumpun bambu ori pekarangan sebelah. Gesekan batangnya membuat nyanyian alam yang sedang bergembira. Sesekali ditimpali dengkungan katak dari sawah seberang jalan.

Di seberang sawah di depanku ini, berdiri kokoh rumah orang tua. Di tempat itu, ari-ariku ditanam sekitar tiga puluhan tahun yang lalu. Dengan semangat di rumah itu juga aku jalani hidupku.

Kini rekaman perjalanan itu terputar di tempat aku berdiri ini. Dimulai pada suatu hari setelah aku tamat SD, bapak dan ibu memanggilku.

“Kata pak guru, NEM-mu bagus, tertinggi se-kabupaten. Bapak ingin mengirimmu sekolah di kota. Tetapi, karena tabungan bapak tidak seberapa, akan kusewakan kamar sederhana. Kau masak sendiri. Tiap Sabtu sore pulanglah ambil beras dan sayur. Minggu sore kembali ke kota”

“Bagaimana caranya?. Sepeda tak ada. Jalan kaki 25 km aku tak akan mampu, Pak!”

“Kata pak guru, para guru patungan membelikanmu sepeda, demi pendidikanmu”

“ Ibu tak apa saya tinggal? Tak ada kawan yang bantu membawa beras ke pasar?”

“Jangan khawatir, Ibu akan baik-baik saja. Carilah ilmu setinggi-tingginya. Agar kelak dapat berguna bagi orang banyak!” Kata ibu

Itu merupakan titik awal perjalanan hidupku. Berkat doa kedua orang tua serta adik-adik, dan tentu saja bantuan para orang baik lagi dermawan, studiku lancar hingga lulus sebagai dokter umum.

Lepas menjalani PTT dan ditambah dua tahun atas kemauan sendiri, aku dipanggil Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Atas biaya Pemda aku diminta mengikuti program dokter spesialis paru. Memang, di kepualauan sana masih banyak penderita TBC dan sejenisnya.

Aku kembali ke kehidupan kampus seperti dulu. Tetap naik sepeda. Menyewa kamar sederhana. Tiap Sabtu sore pulang ke desa. Bercengkerama dengan ibu di dapur. Tidur sebalai dengan adik-adik di malam Minggu. Pergi melihat sawah di Minggu pagi menemani bapak mengontrol pematang dari lobang yuyu. Dan, Minggu sore kembali ke kota. Tas ransel yang tergantung di boncengan berisi beras dan sayur yang selalu disiapkan ibu.

Awal Desember tahun lalu, aku kembali ke daerah. Untuk sementara, aku dititipkan di RSUD sebelum dikirim ke kabupaten.
“Selamat datang, dok!. Semoga kerasan di sini walau tidak banyak pasien TB” Kata teman sejawat menyambutku.

Syukurlah, akhir Januari yang lalu RSUD itu ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan provinsi dalam menangai wabah Covid-19. Aku dimasukkan dalam tim penanggulangan.

Aku mulai rutin setiap hari berhadapan dengan berbagai keluhan pasien, dari sekedar batuk hingga demam tinggi. Tidak jarang harus menunggu hingga tengah malam pasien baru bisa didatangkan. Mungkin, untuk menghindari para kuli tinta yang memang beritanya sedang ‘trendy’.

Karena, pertambahan pasien dari hari ke hari semakin banyak, maka selama bulan Maret lalu hampir tidak pernah pulang istirahat di mess. Siang malam ‘standby’ di rumah sakit.

Awal bulan ini, April, aku terinfeksi. Dan, langsung menjalani isolasi ketat. Aku takut dan menangis. Tetapi, bapak, ibu, serta adik-adik terus menyemangatiku lewar whatsapp.

Dengan kendaraan khusus, tadi siang aku dibawa ketempat ini. Anggota tim yang mendampingiku menggunakan APD lengkap. Dalam perjalanan sesekali aku menguping pembicaraan mereka.

“Dokter ini hebat. Total, sepenuh hati, mengabdikan diri untuk menyelamatkan orang banyak!”, kata salah seorang.
Yang lain, menyahut. “Itulah. Kau lihat tadi semua karyawan berjajar di jalan melambai sambil mengucap terima kasih dan selamat jalan”

Aku berguman. “Bukan seperti itu, kawan!. Aku hanya mengerjakan tugas sebaik mungkin.”

Saat ini sudah pukul tiga subuh. Bapak dan Ibu, serta kedua adikku juga sudah meninggalkan tempat ini. Tiada kesedihan di wajah mereka.

Sebelum meninggalkan tempat ini, kudengar bapak berkata kepada ibu dan adik-adik. Dan, mungkin juga kepadaku.

“Hidup kita di Bumi ini merupakan bagian dari perjalanan panjang penjiarahan kita masing-masing. Karena kehendak-Nya, kita berlima dipertemukan di tempat ini di masa ini. Yang oleh masyakarat disebut keluarga. Aku sebagai bapak, ini sebagai ibu, dan kalian sebagai anak, juga kakakmu.” Jeda sejenak.

“Sesungguhnya, Lanjutnya, “Kita semua ini sesama teman seperjalanan. Juga kakakmu. Sampai kapan? Kita tidak tahu. Yang Memberi Hidup yang tahu. Kakak sudak dipanggil-Nya. Tinggal kita berempat. Entah kapan akan dipanggil satu per satu. Sesuai dengan waktu yang terbaik menurutNya. Jangan bersedih. Kita mesti bersuka cita. Kakakmu sudah kembali kepangkuanNya. Selamat jalan, Nak! Semoga kita kelak dipertemukan lagi di tempat dan waktu yang berbeda. Selamat jalan anakku. Tetap semangat dan bergembira!”

Kubisikan ke telinga mereka masing-masing, “Terima kasih, Bapak. Terima kasih, Ibu. Terima kasih, Adik-adik. Aku sungguh sangat berbahagia hidup bersama kalian semua. Saya tunggu di tempat lain kelak pada waktunya”

Ufuk timur mulai terang bercahaya. Cahaya kehidupan baru. Sekali lagi kutengok jasadku yang telah menemani selama 30 tahun dengan penuh kasih dan cinta.

“Aku sungguh berbahagia bersamamu. Aku pamit mendahului. Sampai jumpa di akhir jaman, kelak” Ucapku terakhir padanya.

Dan, hembusan halus memeluk dan membawa jiwaku menjauh dari tempat itu. Dengan bahagia kutinggalkan terminal terakhir perjalananku di Bumi ini.

Pakem Tegal, Yogya
19-4-2020

Written by teraju.id

IMG 20200419 002454 783

ketika Inovasi Menjadi Sebuah Standard

WhatsApp Image 2020 04 20 at 20.35.04

Kontribusi Kampoeng English Poernama di Tengah Pandemi