in

Upaya “Cross Check” Fakta Sultan Hamid II

FGD di Kalangan Pakar Hukum dan Saksi Mata

IMG 20200617 WA0001

Oleh: Nur Iskandar

Bahwa sejarah Sultan Hamid II kami himpun dengan sungguh-sungguh serta re-check fakta adalah nyata. Berikut ini saya bagi suasana Focus Group Discussion di Pusdiklat TOP Indonesia tahun 2012 melibatkan para peneliti sejarah Hamid di sudut khusus seperti DIKB (Dosen Fisip Untan Dr Jumadi, S.Sos, M.Si), kesaksian Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II (Max Jusuf Alkadrie), uraian penelitian Prof Dr Syarif Ibrahim Alkadrie (guru besar sosiologi Universitas Tanjungpura), penelitian skripsi Uun Mahdar tentang lambang negara, termasuk kader Sultan Hamid yang ikut dari Uncak Kapuas di mana saat masih muda belia usianya sudah diminta Sultan Hamid datang ke Hotel Des Indes agar memberikan masukan tentang burung enggang, burung ruai sebagai calon lambang negara–namun akhirnya dipilih Garuda atas masukan Ki Hajar Dewantara berdasarkan kisah sejarah Nusantara yang terpahat di candi-candi Nusantara.

Tokoh Uncak Kapuas ini saya pikir dikenal para tokoh Dayak Kalbar karena kefasihan hukum adatnya, yakni Baroamas Djabang Balunus Massuka Djanting. Ada pula sosok pria istimewa yang digelari dengan “kamus sejarah berjalan” alumni Sanatadharma, yakni Drs H Soedarto seorang guru tiga zaman yang fasih berbahasa Belanda dan khatam buku-buku Belanda. Ia mengingatkan ada buku yang diterjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia karya Dr Bohm. Dr Bohm ini pernah pula menjadi sekretaris Hamid (sayang sampai kini terjemahan Soedarto belum ditemukan–entah siapa yang mengambil dan belum mengembalikannya–namun Pak Darto bercerita soal kepemimpinan DIKB/Daerah Istimewa Kalimantan Barat sehingga kita jadi paham selain Atjeh merupakan daerah istimewa serta Djogjakarta, sesungguhnya Kalimantan Barat juga Daerah Istimewa lantaran dibelah garis khatulistiwa, sungai terpanjang di Indonesia, berbatasan langsung dengan Malaysia/LN, dan centeral Indonesia (antara Aceh hingga Papua).

Kelak di dalam Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila Sultan Hamid memasukkan unsur rantai yang diambil dari kalung etnik Dayak Kapuas Hulu berupa ikatan kotak dan lingkaran yang mencerminkan persatuan antara Adam dan Hawa / pria dan wanita, atau antara kekuatan dan kasih sayang. Kemudian garis tengah perisai yang garis hitamnya lebih tebal mencerminkan Pontianak Kota Khatulistiwa sebagai tanah kelahiran Sang Perancang. Jang Moelija Sultan Ketujuh Pontianak Hamid Alkadrie II.

Ada pula kesaksian jurnalis senior, HA Halim Ramli, yang mengawinkan Akcaya dengan Jawa Pos sehingga menjadi Pontianak Post sekarang ini–koran terbesar di Kalbar. Juga ada Aswin Taufik mewakili Pemkot Pontianak dan staf ahli Gubernur Kalimantan Barat. Ada pula Syarif Melvin Alkadrie yang kini Sultan Ke-9 Istana Qadriyah Pontianak. Ada praktisi hukum Denny Amiruddin, serta tentu saja Ketua Yayasan Hamid Anshari Dimyati, Turiman Faturahman serta saya dan istri Dwi Syafriyanti.

Jadi, melahirkan buku Biografi Politik Sultan Hamid II melewati serangkaian tahap. Mulai dari liputan pers kampus (tahun 1994), skripsi, tesis, hingga pengakuan orang-orang yang berinteraksi langsung dengan Sultan Hamid II Alkadrie. FGD pertama itu disusul dengan FGD berikutnya di Kediaman Sekda Kalbar Drs HM Zeet Hamdy Assovie, MTM di mana hadir lebih banyak pakar, antara lain Dr Hermansyah (pakar hukum pidana), Prof H Slamet Rahardjo, bahkan Kodam XII Tanjungpura, Lanud Soepadio/TNI AU, TNI AL dan Polda. Semua matra TNI/Polri kita undang dan mereka melihat fakta-fakta sejarah secara nyata bukan “katanya-katanya”. Misalnya “katanya Sultan Hamid makar pada negara”, misalnya “Sultan Hamid bukan perancang tunggal Garuda Pancasila,” misalnya pro-kontra antara unitaris dan federalis hingga Peristiwa Westerling.

Menurut saya yang kurang adalah buku sebanyak 2 koli kami lampirkan ke Dewan Gelar yang beranggotakan belasan orang itu tidak dibaca detail. Kalau dibaca, maka insya Allah lurus nih kebengkokan sejarah. Maka dengan demikian menjadi mudah revisi UU Lambang Negara, Bahasa dan Bendera di mana UU tentu lebih tinggi daripada Keppres Pahlawan Nasional yang diributkan mantan Kepala BIN AM Hendropriyono (semoga Allah mudahkan Beliau untuk membaca buku biografi Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara sekaligus bisa cross-check kepada saksi mata yang masih hidup).

Nah, buku Biografi Politik Sultan Hamid II Alkadrie diberikan pengantarnya oleh Dr (HC) Oesman Sapta. Sosok yang dikader Sultan Hamid II bahkan Sultan yang melamarkan OSO sehingga sakinah, mawaddah, warahmah sampai sekarang. OSO juga mengenang kehilangan mahkota “Buya” tersebut dengan menamai hotelnya dengan “MAHKOTA”. OSO selain memberikan kata pengantar juga memberikan testimoni sekaligus sebagai Wakil Ketua MPR/RI melaunching buku SH II memperingati seabad kelahirannya (1903-2013) di Pontianak Convention Centre.

IMG 20200617 WA0003

Finally, saya yakin misteri sejarah kelam Sultan Hamid II di NKRI cepat atau lambat akan tersibak terang benderang. Sebab “Alhaqqu wadzahaqal bathil,” janji Tuhan dalam wahyu-Nya, “Kebenaran pasti menang dan kebathilan akan dikalahkan.” Saya tidak paham kenapa sejarah yang sudah tercetak rapi bahwa Sultan Hamid II “pengkhianat negara” sudah tercetak di banyak buku sejarah bisa kabur kemudian perlahan pupus akibat ditemukannya naskah yang mana Soekarno mengakui bahwa Sang Perancang Lambang Negara adalah SH II.

Lalu oretan tangan aslinya juga keluar dari Yayasan Idayu yang dipimpin pengusaha percetakan seorang muallaf Tionghoa (di sini terasa bagaimana Mayor Jenderal Militer ini paham taktik dan strategi mengamankan barang bersejarah bagi negara di mana dia selalu diinteli 1×24 jam hidupnya karena sangat disegani dan ditakuti. Di simpan di percetakan agar kelak suatu saat naskah itu akan bicara dengan sendirinya). Karya asli ini sudah diarsipkan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Saya sempat melihat goresan asli Sultan Hamid II di kediaman Sekretaris Pribadi SH II Max Jusuf Alkadrie. Alhamdulillah turut jadi saksi mata mata rantai sejarah Indonesia yang terputus.

Dengan ribut-ribut pernyataan Prof Dr AM Hendropriyono, mari kita pelajari lagi semua dokumen. Bagi yang mendukung silahkan bagi testimoni/dokumen apapun ke WA saya 08125710225. Bagi yang berpandangan negatif juga silahkan berikan argumen dan data serta faktanya. Saya jurnalis. Saya independen. Saya diajarkan oleh ilmu jurnalistik untuk cover both side. Adil. Jujur. Berimbang. Dengan tujuan naskah seorang jurnalis bisa mencerahkan, bukan membodohkan.

Saya juga sempat bertatap muka–wawancara bersama putra mahkota, anak laki-laki satu-satunya buah perkawinan SH II, Max Nico Alkadrie. Beliau datang ke Istana Qadriyah untuk menyerahkan hak kepemimpinannya sebagai pewaris Hamid II Alkadrie kepada Sultan Abu Bakar Alkadrie. Sebuah rekam jejak sejarah yang mana dapat saya rasakan bagaimana rasa seorang anak yang sempat disunat di depan pintu istana, bermain di pinggir Sungai Kapuas, lalu melihat ayahnya dipenjarakan, ibunya yang turunan Belanda Jawa Timur dipersekusi dan kemudian kembali ke Belanda….sedih, perih sebenarnya kisah Hamid beserta keluarganya. Ini PR besar kita untuk meluruskan sejarah dan juga menghimpun kembali keluarga besar Rasulullah Muhammad SAW. *

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

IMG 20200614 WA0028

Tidak Ada Agenda “Setting Politic” untuk Sultan Hamid II Pahlawan Nasional — Murni Akademis Meluruskan Sejarah Bangsa Indonesia

IMG 20200617 WA0008

Penelusuran Jejak Syekh Daeng Abdul Karim Pontianak