in

Zainuddin Isman, Dayak Islam dan Korban Kerusuhan Etnik

WhatsApp Image 2018 07 20 at 05.26.56
Zainuddin Isman (ketiga dari kiri) saat tampil sebagai moderator dalam launching buku biografi Oevaang Oeray di Hotel Mulia, Jakarta. Tampil sebagai narasumber Oesman Sapta, Leo Batubara dan sejarawan JJ Rizal.

Oleh: Yusriadi

Kamis (5/7/18) malam, atau malam Jumat, telah berpulang ke rahmatullah Dr. Zainuddin Isman. Zis, Pak Jai, Ni Nut, begitu dia disebut, adalah salah satu putra terbaik Kapuas Hulu dan Kalbar, yang pernah dilahirkan.

Dia memiliki segudang pengalaman hidup: sebagai aktivis, akademisi, peneliti, wartawan, politisi. Bagi saya dia guru, mentor, teman dan pengayom.
Dia pernah bertugas di Kalbar dan di Jakarta. Sebagai jurnalis, beliau pernah ditugaskan liputan di luar negeri.

Pak Zai, saya kenal di tahun 90-an sebagai wartawan Kompas untuk Kalbar. Rasanya sebuah hal yang luar biasa bisa bekerja di koran terkemuka Indonesia. Seleksi ketat, media bereputasi, gaji juga bagus. Kerenlah pokoknya.

Saya, yang karena pertemanan dengan staf Harian Kompas, Idham Khalid, jadinya mengenal beliau. Sisi-sisi kehidupan beliau saya kenali. Semuanya semakin rapat ketika saya berkongsi kamar, makan dan minum, saat kontrak rumah di Hentian Kajang, dekat kampus UKM Bangi, Selangor.

Saya merasakan banyak kebaikan yang beliau tebarkan. Bahkan, sampai titik pencapaian kehidupan saya hari ini, beberapa di antara adalah andil beliau. Saya belajar sangat banyak tentang prinsip hidup dan cara berkehidupan, dari beliau. Beliau menjadi model dan contoh saya. Saya sangat berhutang budi.
Panjang cerita, saya mengenalnya sebagai aktivis mahasiswa di tahun 1980.

Saya mengenal sosok yang idealis. Jika dapat rezeki –tentu yang halal, beliau berbagi. Saat saya diminta belanja makanan, berapa pun sisa harus dikembalikan.

“Kita harus jujur. Jujur itu modal penting,” begitu beliau mengajarkan prinsip hidup.

Karirnya di Kompas didedikasikan untuk keberpihakan kepada rakyat kecil. Zis dan Kompas mengupas monopoli jeruk di Kalbar. Banyak tekanan yang dialami dalam hal ini.
Pak Zai juga terlibat dalam meliput konflik tahun 1990-an di Kalbar. Beliau meliputnya dengan hati-hati agar konflik antar kelompok etnik terkendali. Melalui tulisan yang kritis banyak pihak yang tak nyaman.

Di tengah situasi itu dia diciduk melalui kasus mandau hias. Mandau hias di dalam mobil civic merahnya, dijadikan bukti untuk menjeratnya dengan undang-undang darurat. Kasus yang menyeretnya ke sel tahanan. Beliau merasa tidak ada yang salah tetapi tuduhan bersalah dilontarkan dan beliau diproses. Pada saat itu sempat terungkap betapa beratnya usaha berjuang untuk tetap kukuh. Dukungan yang diharapkan tidak diperoleh.

Betapa leganya beliau kemudian ketika dinyatakan tidak bersalah. Saya tidak pernah tahu apakah kompensasi yang beliau dapatkan dari penghukuman sebelumnya.

Pak Zai kemudian memilih terjun ke dunia politik dan pensiun dari Kompas. PPP melali Om Ca, meminangnya. Jadilah Pak Zai fungsionaris PPP. Pernah menjadi sekretaris wilayah.
Setelah itu beliau juga mencalonkan diri menjadi anggota MPR Utusan Daerah Kalbar. Dan, terpilih.

Tetapi, pilihan itu tidak mulus. Gejolak mempersoalkan beliau muncul. Identitasnya dibicarakan: Melayu, Dayak, Dayak Islam.

Refresentasi yang mana? Demo-demo mewarnai. Apapun, beliau tetap menjadi anggota MPR-UD.

Pada masa yang sama, Pak Zai mengulang kaji. Beliau mendaftarkan di perguruan tinggi di negara jiran, menyusul saya (saya berangkat tahun 1996). Saya senang karena sedikit banyak bisa membantu urusan beliau kala itu.

Kami kuliah di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Beliau berada di bawah bimbingan Prof. Dr. Shamsul Amri Baharuddin. Prof Shamsul adalah salah satu ilmuan Malaysia yang bersinar di negaranya dan di kalangan akademisi dunia.

Prof Shamsul menjadi dekan di fakultas, juga pernah menjadi penasehat politik Mahathir. Jaringan internasionalnya bagus.

Suatu ketika dalam perjalanan Pontianak-Kuala Lumpur, Pak Zai terserang semacam angin duduk. Sempat masuk rumah sakit di Kuching. Sembuh.
Setelah selesai program master, beberapa tahun kemudian beliau melanjutkan studi doktoral. Di tempat yang sama dan pembimbing yang sama.
Kala itu saya sudah stay di Pontianak. Karena jarak dan kesibukan itu, kami jarang berkomunikasi. Hanya sesekali. Kabar beliau juga hanya sesekali saya dengar.

Tambahan lagi, Pak Zai juga sibuk di Jakarta. Katanya ada bisnis bersama temannya. Beliau juga sibuk untuk urusan penelitian dan lain sebagainya.
Terakhir kami bertemu lebih setahun lalu ketika menggarap buku feschrift Prof. Dr..Syarif Ibrahim Alqadrie. Pak Zai berperan besar dalam proses editing. Beliau menunjukkan tanggung jawab untuk mempersembahkan buku itu. Saat launching di Rektorat Untan, Pak Zai menyampaikan ucapan.

Dari pertemuan itu saya bisa melihat fisik beliau menyusut. Tanda hitam di sekitar mata makin ketara. Tapi, semangatnya tetap tinggi.
Sepekan setelah lebaran, dalam tidur saya terjumpa beliau. Pertemuan itu membuat saya terniat mengunjunginya.

Tetapi, hujan hari itu membuat niat tertunda. Lalu, kemarin, Dr. Zulkifli, mengirim WA menyampaikan kabar duka dari group sebelah: Pak Zai sudah berpulang ke rahmatullah. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Maafkan saya Pak Zai…

Semoga kebaikan yang selama ini bapak tebarkan menjadi amal. Semoga bapak mendapat tempat di sisi Allah. (*)

Written by Yusriadi

Redaktur pada media online teraju.id dan dosen IAIN Pontianak. Direktur Rumah Literasi FUAD IAIN Pontianak. Lulusan Program Doktoral ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia, pada bidang etnolinguistik.

IMG 20180719 135948 847

10 Tahun Vakum, Lussy Renata Ternyata Nyaleg di Kalbar 2

WhatsApp Image 2018 07 20 at 05.20.24

Kapolda Kalbar dan Pejabat Gubernur Kalbar Nonton Bareng Film 22 Menit