Oleh : Khatijah
Traveling, setiap orang menyukainya. Pemandangan indah membiru di laut, gulungan ombak berlarian, gunung menghijau, berisik air terjun di pegunungan, teriakan hewan liar, menambah nikmat keindahan travelling. Lagi-lagi “Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?”. Terserahlah kali ini kemana berlabuhnya, yang terpenting 1 Februari 2018 ini aku bisa berkunjung ke Kecamatan Teluk Pakedai, agar bisa menambah nama Teluk Pekedai di kertas planing nama desa yang aku kunjungi.
Bertepatan hari Kamis, kami memberanikan diri berangkat ke Teluk Pakedai menggunakan sepeda motor. Dari Sungai Kakap kami harus menggunakan klotok untuk menyeberang ke Kecamatan tersebut, di sana tersedia 1 klotok dan 1 very untuk penyeberangan. Aku juga tidak tahu ada tidaknya jalan darat yang bisa menuju ke sana. Tidak lama hanya sekitar 5 menit kami sudah sampai di seberang dan melanjutkan perjalanan ke tempat wisata terbaru.
Sekitar pukul 9 wib, kami sampai di Desa Sui. Bemban. “Dulu di sini banyak bemban,” ujar Bu Dahlia, 26 tahun, ketika saya bertanya asal-usul nama desa ini.
Menuju Embung Parong kami harus melewati jalan yang lebarnya kira-kira sekitar 1 meter yang semakin menjuah semakin mengecil. Listrik di desa ini sudah masuk meski berada jauh dari penyeberangan very. Hampir setiap rumah yang kami lewati bergantungan buah pinang, karena pinang adalah salah satu mata pencaharian masyarakat di sini, selain sawit, dan padi. Tak ada tulisan Kec. Teluk Pakedai kutemukan di setiap plank yang kami lewati. Ternyata kami salah alamat, ini bukan Kec. Teluk Pakedai, melainkan Kec. Kubu.
Sampai di Embung Parong, tidak ada satu pengunjung pun yang kami temui kecuali seorang laki-laki yang mungkin bertugas menjaga tempat wisata tersebut. Ia duduk di sebuah pos yang berada di atas satu tingkat jalan yang menuju tugu batu yang bertuliskan “Selamat datang di Embung Parong” dengan tulisan berwarna biru dan di sampingnya terdapat lambang yang berbentuk seperti kaki hampir persis dengan cap kaki tiga. Tak ada yang dapat ditanya makna lambang tersebut.
Embung Parong memang sangat indah. Kami disungguhkan serasa di Tembok Raksasa karena jembatan dan dinding jalan yang berupa tembok apalagi bendungan air yang membiru terkena pantulan langit menambah nikmat pemandangan meski sedikit menyeramkan karena di sebelah kanan terdapat pohon-pohon mati yang masih berdiri dengan tegak.
Sekitar pukul 12 wib kami kembali ke Sui. Bemban karena tujuan kami bukan hanya berkunjung ke Embung Parong melainkan untuk ke Air Terjun dan juga Masjid Batu. Di perjalan kami menemukan sebuah plank berwarna hijau dengan tulisan “Makam kerajaan Ambawang Pasir Putih”. Lagi-lagi penasaran menghantui karena kami masih belum bisa menemukan narasumber yang bisa menjawab semua pertanyaan yang mulai menggumpul di kepala, toh di sini Sui. Bemban, kok ada makam kerajaan Ambawang?
Selesai salat Zuhur kami berangkat ke air terjun. Kami harus melewati persawahan orang di desa tersebut. Tak banyak yang bisa dibanggakan dari air terjunnya karena memang air sedang kecil lagi musim kemarau. Tak lama kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Batu yang searah dengan jalan pulang.
Masjid Batu, kata mereka batu yang disusun seperti masjid. Menurutku, lebih tepatnya batu besar yang sepertinya akan dijadikan satu bangunan tetapi gagal sehingga tidak bisa diprediksikan bentuknya, yang pasti aku hanya bisa menemukan bentuk tangan kanan tergenggam yang menelungkup di puncak susunan batu tersebut, yang lebih menyayat penasaran ialah terdapat tulisan di bawah batu yang bertuliskan, “Pemilik Supardi 2013”. Tak ada yang bisa ditanya, tidak ada narasumber yang bisa memberikan jawaban, sedang senja sudah menampakkan jingganya memaksa kami membawa pulang rasa penasaran tersebut.
Pontianak, 1 Februari 2018