in ,

Yenni Wahid: Sikap Pro Demokrasi Muslim Indonesia Modal Sosial Melawan Intoleransi

WhatsApp Image 2018 02 01 at 06.44.27
Yenni Wahid saat memberikan pandangan hasil penelitian The Wahid Foundation. Foto Nuris

teraju.id, Jakarta – Penelitian yang dilakukan The Wahid Foundation bersama Lembaga Survei Indonesia (LSI) perihal persepsi muslim menunjukkan sikap kuat mendukung tegaknya demokrasi. Hasil penelitian ini menjadi kabar gembira di tengah ancaman disintegrasi berupa memanasnya intoleransi. Demikian diungkapkan Yenni Wahid dari The Wahid Foundation, Selasa, 30/1/18.

Putri sulung Gus Dur ini menunjukkan sikap muslim Indonesia terhadap Pancasila dan konstitusi yang masih tinggi.

“Kita masih bisa tarik napas lega. Kenapa? Karena muslim Indonesia moderat. Ini modal sosial yang mesti kita rawat sehingga Indonesia berpotensi mengukir prestasi yang luar biasa.”

Saya, lanjut Yenni yang pernah menjadi jurnalis di The Age, Melbourne, Negeri Kangguru ini, di berbagai forum internasional melihat dukungan warga mancanegara terhadap demokrasi mereka rendah. Di Indonesia tinggi di atas 77%. Bahkan posisi perempuan muslim berada 1-2 level di atas kelompok laki-laki muslim yang mendukung demokrasi di Indonesia.

“Perempuan Indonesia kalau pilih jodoh diputuskan dari diri sendiri. Bekerja atau tidak, juga diputuskan oleh mereka sendiri. Dengan demikian perempuan muslim Indonesia itu merdeka. Pilihan politik perempuan Indonesia juga bebas. Bebas tanpa bentrok dengan rumah-tangganya. Jadi, wanita Indonesia itu otonom. Bedanya dengan laki-laki Indonesia masih 30%. Ini posisi bagus untuk negara Indonesia yang masih konservatif. Untuk itu perempuan Indonesia bisa melakukan mediasi-mediasi.”

Peran perempuan di bidang mediasi karena dilatar-belakangi oleh sikapnya yang pro demokrasi ini mesti menjadi modal sosial bagi Indonesia mengukir prestasi.

Terhadap isu menegakkan syariat Islam? “Rata-rata ulama bilang syariat Islam itu bagus untuk dijalankan. Bahkan wajib! Tapi prosesnya? Ada pendapat, bahwa hukum Islam tidak harus dituangkan kepada hukum positif. Misalnya hukum rejam dan pancung. Kalau mewarnai nilai-nilai hukum, iya, seperti hukum perkawinan. Nah, ada organisasi Islam tertentu yang memaksakan ke hukum positif. Ini mengarah kepada intoleransi dan radikalisme,” timpal Yenni.

Saya, lanjut Yenni, juga mendorong kawan-kawan agama lain melakukan pemetaan di kalangan internalnya. Kita perlu saling memetakan, karena terorisme dan radikalisme tidak mengikuti agama tertentu.
Penelitian Wahid Foundation juga mengungkap, bahwa orang tidak radikal di Indonesia meningkat dari 72% menjadi 77%. Padahal situasi kebangsaan Indonesia baru saja habis-habisan digerus kasus Pilgub DKI Jakarta (2017). “Apakah cukup lewat ujaran kebencian di sosmed? Atau sudah lelah? Ini menarik untuk penelitian lebih lanjut,” kata Yenni.

Yenni Wahid foto bersama dengan peserta konsultasi publik terkait Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme (RAN-PE) yang mengarah kepada terorisme . Foto Nuris
Yenni Wahid foto bersama dengan peserta konsultasi publik terkait Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme (RAN-PE) yang mengarah kepada terorisme . Foto Nuris

Toleransi itu adalah apakah tersedia ruang bagi mereka untuk mengekspresikan pikiran dan pendapatnya? Yenni mencontohkan bahwa Negeri Paman Sam mempunyai kelompok yang paling tidak disukainya, yakni Yahudi. Ini contoh bahwa di setiap negara punya kelompok yang tidak disukai. Begitupula dengan Australia. Mereka tidak menyukai China karena dinilai telah menginvasi tanah serta properti mereka. Politisi kemudian menjadikannya isu politis.

Bagaimana potensi intoleransi terhadap kelompok yang tidak disukai di Indonesia? Laki-laki cenderung intoleran dibandingkan perempuan. Yakni masing-masing 59% dan 55%. Sebaliknya, dalam hal bertetangga masih toleran. Bahkan bertetangga dengan mantan napi pun Indonesia masih toleran.

Data lainnya mengungkap bahwa anti ormas radikal masih 51% laki-laki dan 54% perempuan. Sementara itu 13,2% setuju jihad kekerasan, selebihnya tidak setuju jihad kekerasan. “Warga muslim Indonesia itu cenderung memilih di tengah-tengah,” tegas Yenni seraya menimpali dalam hal bunga bank, ucapan hari raya, jilbab, berduaan, membaca quran untuk pegawai pemerintah, bahwa pendapat umat Islam Indonesia itu di tengah-tengah. Antara konseptual dan praktik ada kesenjangan: contoh secara konseptual dia tidak setuju bunga bank, tetapi secara praktik dia menabung di bank konvensional.

Begitupula menyikapi apakah terorisme global untuk menyerang Islam? Serangan bersenjata di luar negeri adalah rekayasa untuk menjelekkan Islam? Pendapat muslim Indonesia netral. Di tengah-tengah.
Terhadap data di atas, sebagai bahan evaluasi terhadap kondisi nasional, lanjut Yenni, jika seseorang memandang kondisi nasionalnya baik, mereka tidak merasa terancam dan tetap akan toleran. Penelitian di atas dapat dilihat lebih rinci di The Wahid Foundation.

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

WhatsApp Image 2018 01 31 at 19.41.48

Mark Salling ‘Glee’ Meninggal Gantung Diri

Writing is Worship1

Writing is an Act of Worshi