in

KESEPAKATAN LUBUK BANDUNG

KORIDOR LABIAN-LEBOYAN (3)

koridor labian leboyan

Oleh: Hermayani Putera

28-29 November 2006. 20 kampung di sepanjang Koridor Labian-Leboyan mengirimkan dua orang wakilnya dalam pertemuan dua hari ini. Mereka berasal dari Nanga Leboyan, Semangit, Semalah, Pelaik, Peninjau 1, Empesu, Peninjau 2, Nanga Telatap, Tempurau, Meliau, Manggin, Lubuk Bandung, Kapar Tekalong, Ganti, Nanga Ngaung, Tumbali, Ukit-Ukit, Bakul, Kelawik, dan Entebuluh.

Ada yang datang dari hulu, ada pula yang dari Hilir. Tujuan akhirnya satu: betang Lubuk Bandung, Desa Sungai Ajung, Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu. Lubuk Bandung dipilih mengingat lokasinya yang relatif persis berada di tengah-tengah.

Beberapa isu dibahas pada pertemuan ini, yang mengerucut pada pengembangan kerjasama masyarakat hulu-hilir dalam pengelolaan DAS Labian-Leboyan. Misalnya, persoalan utama masyarakat yang tinggal di hilir koridor hingga ke Danau Sentarum adalah kualitas air akibat aktivitas saudara-saudara mereka di bagian tengah dan hulu.

”Pada tahun 1994, ikan-ikan terapung di Leboyan akibat penebangan di hulu. Disusul kemudian dengan kebakaran hutan cukup hebat pada tahun 1997. Akibatnya, madu tidak berproduksi selama 3 tahun hingga tahun 2000,” kenang Haryanto, kepala desa Nanga Leboyan.

“Banjir besar terjadi tahun 2005, menyebabkan lantai rumah penduduk terendam sekitar 60 cm,” tambah Ade Jumhur, aktivis Riak Bumi yang tinggal di Desa Semalah, melengkapi cerita Haryanto.

Masyarakat bisa bercerita tentang peristiwa penting di tempat mereka melalui tanda-tanda alam yang ada. “Ini adalah banjir terparah yang kami tahu selama ini, karena ikut merendam tikung tempat lebah membentu sarang dan memproduksi madu hutan di sekitar Danau Sentarum. Akibatnya produksi madu nyaris tidak ada. Syukur tahun 2006 mulai pulih lagi,” tambah Ade.

Isu lainnya yang dibahas adalah terkait nama. Untuk sungai yang sama, masyarakat memakai nama yang berbeda. Masyarakat di hulu menyebutnya sebagai Sungai Labian, sementara masyarakat di hilir akrab dengan nama Sungai Leboyan. Bagaimana masyarakat yang tinggal di tengah koridor? Ada yang memakai nama Labian, ada pula yang menyebutnya Leboyan. Menarik, kan?

“Walaupun berbeda, tapi artinya sama, Pak Herma,” kata Pak Yosep Unja, salah satu tokoh masyarakat dari Desa Labian.

“Oh ya? Wah, ini menarik untuk jadi pengetahuan kita bersama,” responku dengan penuh antusias. Dalam pertemuan ini, aku diminta oleh panitia menjadi co-fasilitator bersama Yohanes Janting, senior kami di LSM Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK), bagian dari Konsorsium Pancur Kasih.

“Benar, Pak Herma. Nama “Labian” atau “Leboyan” artinya berlimpah atau berlebih, baik airnya, ikannya, hewan buruan, maupun tumbuhan sebagai sumber pangan, sayur, dan obat bagi kami dari generasi ke generasi,“ sambung Tumenggung Leo, tokoh adat masyarakat Tamambaloh di kawasan ini.

“Kalau memang artinya sama, tempat tinggal dan sumber penghidupan Bapak dan Ibu di sungai yang sama, ada yang keberatan tidak jika kita menggabungkan nama sungai ini menjadi Labian-Leboyan?“ tanyaku lagi, kali ini agak sedikit provokatif.

Dengan bertanya seperti ini, aku berharap peserta menjadi lebih bersemangat lagi berdiskusi, bertukar pikiran, dan merumuskan masa depan mereka bersama di kawasan ini.
Benar saja, suasana menjadi tambah hidup, ditambah lagi dengan kemampuan Janting menghangatkan suasana pertemuan.

“Ada yang bisa cerita bagaimana petuah atau pandangan orang tua kita dulu terhadap sungai ini?“ tanya Janting, menggunakan bahasa Iban dengan fasih. Maklum, dia memang orang Iban. Ia berasal dari salah satu kampung di koridor ini.

“Kalau orang di hulu berpesta, harus ingat orang di hilir. Begitu juga sebaliknya, jika orang hilir yang mengadakan keramaian, mereka harus selalu ingat kepada saudara mereka yang ada di hulu. Kalau ada makanan berlebih, harus disisihkan untuk saudara di hulu agar bisa dinikmati bersama,“ jawab Haryanto. Sosok kades ini memang sangat aktif selama pertemuan.

Begitulah filosofi masyarakat yang tinggal di sepanjang Koridor Labian-Leboyan dalam memandang arti penting sungai menyediakan sumber kehidupan bagi mereka. Setelah ditambah beberapa argumentasi dari peserta lain, dalam pertemuan di Lubuk Bandung masyarakat dari 20 kampung dan dusun di koridor bersepakat menamakan sungai ini sebagai Sungai Labian-Leboyan.

Kelak, nama ini resmi dipakai oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dalam berbagai dokumen resmi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan daerah aliran sungai di kawasan ini.

Salam Lestari, Salam Literasi

#MenjagaJantungKalimantan #KMOIndonesia #KMOBatch25 #Sarkat #Day12 #hermainside #SalamLestariSalamLiterasi

Written by teraju.id

wajidi sayadi

Merdeka Lahir dan Batin Merdeka Raga dan Jiwa

Sharon Stone di layar lebar

Masalah Pandemi Adalah Masalah Politik