Oleh: Dr Leo Sutrisno
Dilaporkan gempa bumi yang terjadi di Palu, Sigi, dan Donggala pada tanggal 3-10-2018. Selain terjadi tsunami juga terjadi likuifaksi tanah. Likuifaksi tanah terjadi di wilayah Petobo dan Balaroa di Palu. Akibatnya, banyak bangunan ‘tertelan’ tanah.
Peristiwa likuifaksi tanah dapat diilustrasikan sebagai berikut. Kita bayangkan ada se-onggok pasir yang ada di dalam sebuah kotak. Kemudian, kotak digoncang-gocang dengan kuat untuk beberapa waktu lama. Akibatnya, akan terjadi pergerakan butiran-butiran pasir sehingga makin lama gundukan pasir ini terasa semakin lebih padat dibandingkan sebelum digoncang.
Demikian pula volume keseluruhan semakin kecil. Apabila dinding kotak itu dapat merembeskan air, dan kotak berisi pasir itu berada di tengah kolam maka akan ada air yang memasuki kotak sehingga terbentuklah lumpur pasir yang ada di kotak itu. Lumpur pasir inilah dapat bergeser ke sana ke mari.
Likuifaksi tanah (soil liquefaction / pencairan tanah) terjadi pada lapisan pasir muda yang jenuh air. Beban yang berada di atas lapisan pasir itu menyebabkan lapisan pasir memadat sehingga lapisan air di bawahnya naik meresap menyelinap di antara butiran-butiran pasir menuju ke permukaan tanah. Dalam kondisi normal, air akan merembes ke atas permukaan tanah perlahan-lahan sehingga tidak mempengruhi struktur tanah secara keseluruhan.
Tetapi, jika ada goncangan yang kuat (seperti getaran gempa bumi) maka air itu tidak bergerak ke atas ke permukaan tetapi menyebabkan butir-butir pasir tadi kehilangan tegangan gesernya (shear stress) sehingga butir-butir pasir itu saling lepas satu sama lain. Karena dalam jumlah yang besar maka membuat aliran butiran pasir sehingga tanah dan bangunan di atasnya amblas dan ‘terhanyut’. Terjadilah, peristiwa seperti yang berlangsung di Palu itu.
Secara teknis, likuifaksi tanah adalah tanah yang kehilangan kekuatannya karena tanah yang padat berperilaku seperti cairan untuk sementara waktu.
Fenomena ini terjadi pada tanah yang kurang padat tetapi jenuh air terkena getaran dari gelombang Sekunder (S-waves). Gelombang (karena gempa bumi) sekunder adalah gelombang transversal yang merambat di belakang gelombang longitudinal (gelombang primer / P-waves) dan menggoncangkan lapisan tanah.
Walaupun gempa bumi disebut sebagai penyebab utama, fenomena likuifaksi tanah sesungguhnya juga terjadi, dalam sekala kecil, akibat getaran yang disebabkan oleh mesin pemadat tanah. Tanah berpasir (sandy soil), kerikil (gravel soil), atau lanau (silty soil) cenderung mudah mengalami likuifaksi.
Butiran tanah merupakan campuran dari tanah dan ruang poreus. Ketika terjadi goncangan gempa bumi di daerah tanah berair maka ruang poreus itu terisi penuh dengan air sehingga besaran butiran-butiran tanah tadi menyusut.
Dengan demikian volume tanah secara keseluruhan menurun. Proses ini menyebabkan lebih banyak air menyusup di antara butiran-butiran tanah itu.
Akibatnya, butiran-butiran ini akan mudah bergerak seperti air mengalir. Struktur tanah mudah terdeformasi sehingga akibatnya bangunan yang di atasnya akan roboh karena kehilangan tekanan ke atas dari lapisan tanah.
Peristiwa likuifaksi yang cukup besar terjadi di Tiongkok pada tahun 1976. Sekitar 2.400 km2 hamparan tanah mengalami likuifaksi. Likuifaksi yang lebih rendah terjadi di kota Mexiko pada tahun 1985 dan San Francisco 1906.
Peristiwa likuifaksi juga dapat menyebabkan semburan pasir yang sering disebut ‘sand boils’ atau ‘sand volcanos’. Peristiwa semacam itu tercatat dalam peristiwa gempa bumi di Madrid tahun 1811-12 serta gempa bumi San Francisco-Oakland 1989.
Peristiwa likuifaksi juga dapat menyebabkan lapisan tanah bergeser seperti di beberapa titik yang terjadi di Palu baru-baru ini. Peristiwa gempa bumi Alaska 1964 juga tercatat menyebabkan lapisan tanah bergeser.
Inilah beberapa peristiwa yang terjadi di sekitar likuifaksi tanah. Semoga kita semakin waspada.
(Penulis adalah fisikawan, akademisi Universitas Tanjungpura)