Oleh: Saripaini
Dalam program Rumah Literasi FUAD mahasiswa baru dituntut untuk membuat buku harian, menuangkan aktivitas kesehariannya di dalam tulisan. Ya, itu adalah tugas yang harus dikerjakan setiap hari.
Sepekan setelah penugasan itu berlangsung, para pembimbing diarahkan untuk mengecek buku catatan harian yang telah ditulis peserta. Hasil yang saya dapatkan di kelas adalah sebagian besar mahasiswa tidak menulis sebagaimana pengarahan para mentor. Alasannya beragam, dimulai dari tidak tahu ingin memulai darimana, sulit merangkai kata, tidak ada aktivitas menarik untuk ditulis, tidak ada waktu, malas dan lain sebagainya.
“Banyak tugas, Kak! Dalam mata kuliah Akhlak Tasawuf, kami diminta untuk nulis, lalu cari lima refensi,” kata salah seorang mahasiswa perempuan memberikan alasan tidak mengerjakan tugas. Pernyataannya dibenarkan oleh teman-teman sekelas.
Saya hanya diam, tak mengomentari alasan tersebut. Sebagai mahasiswa saya paham betul bagaimana posisi mereka. Tapi, tugas tetaplah tugas, bagaimanapun alasannya tetap harus dikerjakan, sebagai bentuk pertanggungjawaban karena telah memilih untuk menjadi mahasiswa.
Menumbuhkan satu kebiasaan baru untuk menggantikan kebiasaan lama, saya rasa bukan perkara yang mudah. Kelas dilanjutkan dengan kegiatan menulis. Mahasiswa diarahkan untuk menuliskan alasan dan kesulitan dalam menulis buku harian, kemudian mereka dituntut untuk memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan menulis yang dialami. Kemudian membacakannya di depan kelas secara bergantian. Ini ditujukan agar mahasiswa mengakui bahwa alasan yang telah dibuat tidak bisa menjadikan kelalainnya sebagai sebuah kebenaran.