Oleh: Dr Leo Sutrisno
Perjalanan yang melelahkan selama dua hari lenyap seketika, begitu memasuki jalan yang dilewatinya di hari yang sama tahun lalu. Jalan lurus mengarah ke utara menuju gerbang desa.
Kanan kiri jalan terhampar persawahan dengan padi yang mulai menguning kehijauan. Garis lengkung tak teratur pematang serta hamparan sawah yang bertingkat-tingkat menguatkan kesan daerah pegunungan. Betul, daerah itu memang berada di halaman selatan gunung Merapi.
“Katanya siaga I, tetapi tampaknya, tenang-tenang saja. Tak sebanding dengan pemberitaannya” Pikirnya sembari menikmati semburan cahaya mentari senja yang kuning kemerahan jauh di seberang sana.
Dokter Frans Cuka bersyukur karena tadi tidak kebagian taksi. ‘Blessing in disguise’ gumannya. Dengan ojeg ini, ia dapat menikmati semilir angin lereng gunung yang menyusup ke tulang. Suhu 19 derajad membuat segar seketika.
Setelah selesai mengikuti Misa malam natal live streaming mereka makan malam bersama.
Kemudian, mereka duduk-duduk di teras belakang. Di dekat gua Maria.
Gemericik pancuran sedang ditimpali nyanyian katak sawah di seberang sungai membangun nuansa malam yang sepi dan damai.
“Bapak minta maaf, walau dalam situasi yang seperti sekarang ini, Mas Frans saya minta ke sini di malam ini. Itu hanya meneruskan permintaan Wie-Wie”
‘Betul! Sangat repot! Harus tes PCR. Syukurlah negatif. Harus bermasker sepanjang perjalanan, sedia santizer di saku jaket. Jaga jarak dan tidak lupa menyiapkan face shield. Sungguh melelahkan baik fisik maupun psikis’ responsnya dalam hati. Tentu bukan ini yang terucap.
“Tak apa, Pak. Syukur semua diberi kelancaran. Tiga hari yang lalu saya sempat ragu karena tiba-tiba muncul aturan semua penerbangan menuju Jawa mengharuskan disertai hasil PCR yang negatif paling lama dua hari sebelum keberangkatan. Syukurlah rumah sakit sudah memulai dengan tes itu, kalau tidak harus tunggu 4-5 hari karena harus dikirim ke Jakarta. Dan, tak dapat dipakai. Kadalu warsa” Ucapnya.
“Ibu juga berpikir seperti itu, Mas” Timpal nyonya rumah, Bu Pringgo.
“Pertengahan Oktober lalu, Bapak lupa tanggalnya, ada utusan dari rumah sakit yang terakhir merawat Wie-Wie. Utusan itu menyerahkan HP Wie-Wie” Pak Pringgo ambil napas sejenak.
“Katanya, di dalam HP ini ada catatan harian, berupa rekaman suara, selama ia dirawat. Bapak dan Ibu sudah membukanya. Ada pesan untuk Nak Frans. Malam ini, Bapak ingin, kita semua mendengarkan rekaman itu, persis di malam Natal ini”
“Ketika berangkat, Januari lalu, ia berkata ke Ibu, Natal lalu Wie sendirian di rumah. Tidak ‘dhing’!. Mas Frans dan kawannya ke sini. Wie ingin natal tahun ini kita berkumpul bersama di sini. Timpal Bu Pringgo lagi.
“Setahun yang lalu, jam segini, Ibu dan Bapak persis di Vatikan. Masih tengah hari tanggal 24 di sana” Lanjut Bu Pringgo.
Mereka berlima, Pak Pringgo, Bu Pringgo, dokter Frans, Man dan Min, mengelilingi HP walau tetap menjaga jarak. Syukurlah Man punya inisiatif memasang pengeras suara. Sehingga, rekaman suara Wie manjadi lebih terdengar jelas.
‘Ini hari pertama,
Aku masuk karantina setelah hasil PCR kemarin diketahui positif. Hasil cepat diketahui. Perangkat PCR bantuan pusat sudah datang.
Kamar yang aku tempati baru. Bau catnya membuat aku agak batuk. Rumah ini, entah bangunan apa. Banyak kamar.
Sepi sekali.
Keperluan makan-minum dikirim langsung dari bagian gizi. Tiga kali, dari pagi tadi. Ditambah obat dan madu. Ada kawan yang juga mengirim parcel buah.
Sesunggahnya buah tentu enak, ada kiwi, ada anggur, ada apel. Tetapi sungguh tak ada selera. Aku makan hanya untuk menjaga kekuatan tubuh.
Bapak dan Ibu, kirimi doa, ya. Jangan sedih. Wie masih kuat.
Aku ingin tidur awal. Sudah dua minggu aku was-was. Ternyata terwujud.
…
Ini hari kedua.
Pukul sepuluh pagi. Aku terus-menerus batuk. Tidak berdahak.
Dada terasa sesak, berat. Mau melangkah saja terasa sangat berat.
Tuhan. Tolong beri kekuatan.
Pukul tiga sore. Baru saja ada perawat yang datang membawa oksimeter. Hasilnya 90. Aku harus masuk kmar isolasi. Sore ini juga. Aduh! Mata berkunang-kunang, Bu. Gelap.
Ini hari ketiga.
Atau, hari pertama di kamar isolasi.
Semua perawat dan nakes lain memakai APD. Hasil CT scann sudah enam puluh persen paru penuh asap. Virus telah menyerang. Perlu dipasang alat bantu pernapasan.
Napasku terasa berat. Seperti ber-ton-ton. Juga, tak makan. Tak ada petugas yang membantu menyuapi.
Ini hari keempat.
Mungkin, Tuhan telah dekat menjemputku. Aku pamit untuk semuanya.
Hati-hati dengan wabah ini. Sangat ganas.
Rasanya aku tak mungkin pulang Natal tahun ini. Selamat tinggal Pak, Bu, Man, Min, mas Frans. Kalian sedang berkumpul di malam ini kan?
Min, adikku tersayang, tolong putarkan lagu I’ll be homenya Connie Francis.
Kau tahu tempat kakak menyimpan, kan? Kalian jangan sedih.
Kematian adalah rahmat untuk mulai hidup bersama Dia di Kerajaan-Nya.
Sampai jumpa kellaaakkkk. Cium Wie. I’ll be home ta Christmas. Tetapi, mas frans, It’s only my dream.
Yang diminta langsung bergegas mengambil recorder dan kasetnya. Kaset itu siap di dalam recorder milik Wie di kamarnya.
Tak lama kemudian mengalunlah suara legendaris Connie Francis menembus keheningan malam Natal, 2020.
Mengalun syahdu di depan gua. Melesat ke atas menyusupi dadaunan bunga kenanga dan kemuning.
Dari kejauhan suara jengkerik menimpalinya. Tak lama kemudian disusul orkestra alam katak-katak sawah meresonansi alunan Connie.
I’ll Be Home for Christmas
(Michael Bublé/Connie Francis)
I’ll be home for Christmas
You can plan on me
Please have snow and mistletoe
And presents by the tree
Christmas eve will find me
Where the love light gleams
I’ll be home for Christmas
If only in my dreams
….
I’ll be home for Christmas
You can plan on me
Please have snow and mistletoe
And presents by the tree
Christmas…
Di akhir bait, tiba-tiba ada angin barat berhembus kecang membuat batang-batang bambu kuning bergeritan. Bambu-bambu itu mengingatkan tentang ajal manusia.
Bagi masyarakat lereng Merapi, bambulah sarana utama untuk membawa jenasah ke liang lahat. Bahkan bambu itu juga yang akan mengawaninya di dalam sana.
Dokter Frans berguman lirih. “It’s just her dream”
Pakem Tegal, 24 Des 2020
Leo Sutrisno
Selama menggubah kisah ini diiringgi Connie Francis – The Christmas Song (Original Christmas Songs) Full Album