Kata ‘loman’ merupakan kata bentukan dari kata ‘lomå’ yang bermakna suka memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tulus. Nama sesungguhnya, sesuai dengan yang tertulis di SK, adalah Lukman. Tetapi, karena sifatnya memang demikian, kami memanggilnya Pak Loman. Ini penjelasan kepala kampung, Pak Josef,. Pak Josef pernah kuliah di Yogya.
Pada suatu hari, pak guru Loman mendapat giliran ke kota mengambil gajinya dan gaji kawan-kawan guru yang lain. Memang seperti itu, cara mengambil gaji para guru yang bertugas di pedalaman.
Mereka berpatungan membiayai satu orang yang berangkat ke kota secara bergiliran tiap tiga bulan sekali. Karena lokasi mereka jauh di pedalaman dan satu-satunya transfortasi yang tersedia hanyalah speed boat milik Toke Acok. Itu pun tidak bisa pulang hari. Speed boat akan kembali ke kampung esok hari berikutnya. Ongkosnya sekitar satu bulan gaji.
Seperti juga yang lain, sore itu pak guru Loman belanja keperluan sendiri dan titipan kawan-kawannya. Syukurlah, sekarang tidak perlu ke mana-mana lagi. Semua yang dicari sudah tersedia dalam satu mall. Memang harganya sedikit mahal. Tetapi, jika dihitung dengan ongkos kendaraan, nilai total kurang lebih sama.
Hampir dua troli belanjaannya. Sambil menunggu kasir menghitung harga, ia memperhatikan seorang anak lelaki yang kurang lebih seumur anak muridnya, kelas dua SD, di kasir sebelah.
“Dik, Kakak kira uangmu tidak cukup untuk membayar boneka ini. Sangat mahal. Coba lihat harga yang tergantung itu!” Kata kasir sambil menggoyang-goyangkan celengan plastik milik anak itu.
“Coba, kau hitung dulu uang tabunganmu itu!” lanjutnya.
Dengan kecewa anak itu mundur, ke luar dari antrian menuju ujung lorong. Dengan hati-hati ia menerawangkan celengan di bawab lampu.
Tak lama kemudian Pak guru Loman sudah berdiri di samping anak itu, sambil bertanya,
“Kau sedang mengintai apa, Nak? Ada binatangkah di celengan itu?”
“Bukan, Pak!” Jawab anak itu, tanpa menoleh.
“Lalu apa yang kau lihat?”
“Coba lihatkan! Apakah betul uang ini tak cukup untuk membeli boneka ini?” sambung si anak.
“Coba Bapak lihat harganya, Nak?”
“Oh dua bulan gajiku” Bisiknya dalam hati. Secara diam-diam Pak guru Loman memasukkan sejumlah uang ke dalam celengan anak itu, sambil berkata,
“Ayo kita buka. Kita hitung lagi, ya”
Mata anak itu langsung bersinar, sambil berteriak.
“Lebih Pak. Saya juga masih dapat membeli setangkai bunga mawar putih. Tuhan mengabulkan permohonanku. Aku hanya minta uang cukup untuk membeli boneka kesayangan adik. Tetapi, malah diberi lebih. Aku dapat membeli bunga mawar putih”
“Boleh, Bapak bertanya sebelum kau ke kasir, Nak?”
“Ya, Pak. aku masih ada waktu sedikit. Mak pasti menungguku”
“Kenapa kau, anak laki-laki, berkeras hati membeli boneka dan juga bunga mawar?”
“Boneka ini kesukaan adik. Dulu, aku berjanji jika tabungan ini sudah cukup pasti kubelikan!” Berhenti sejenak. Lanjutnya,
“Aku harus membeli sore ini karena, kata ajah, mak tidak lama lagi berangkat menjemput adik. Boneka ini biar dibawa mak supaya adik mau diajak balik’
“Bunga mawar?”
“Mak sangat senang bertanam bunga. Tetapi belum punya mawar putih, mahal. Mak suka sekali dengan mawar putih. Aku juga janji akan membelikan bunga mawar warna putih. Bunga itu akan kubeli sekarang juga. Biar dibawa mak pergi menjemput adik.Pasti adik bahagia sekali”
“Oh. Baik. Cepat ambil bunga itu dan pulanglah segera! Atau, Bapak antar dengan mobil”
“Tak usah Pak. Aku bawa sepeda. Apa lagi gang sempit di dalam. Dengan sepeda lebih cepat sampai rumah. Mak pasti sudah menunggu. Ayo, Pak”
Di penginapan, setelah maakan malam, Pak guru Loman sempat membaca berita lokal. Di pojok bawah ada berita kecelakaan. Tabrakan. Sepeda motor yang dikendarai anak muda mabuk menabrak sepeda pancal yang dikendarai seorang ibu berboncengan dengan anak kecil usia TK. Si anak meningal di tempat, dan ibunya luka berat.
Esok harinya, di halaman pelabuhan, sambil menunggu jam keberangkatan, pak guru Loman membuka koran terbitan hari itu. Di kolom yang sama dengan berita kemarin dilanjutkan. Di kabarkan bahwa si ibu juga meninggal menyusul anaknya.
Pak guru Loman membatalkan kepulangannya dan menitipkan uang gaji serta belanjaan pada Toke Acun. Ia bergegas ke rumah duka.
Di sana, ia melihat di tangan kiri almarhumah memegang sekuntum bunga mawar putih dan di tangan kanan sebuah boneka. Setelah berdoa di dekat peti jenasah ia bergegas kembali ke penginapan.
Di kampung, kawan-kawannya meributkan belanjaan Pak Loman yang hanya beras, ikan asin dan teh. Tidak seperti biasanya.
“Untung, ia belum beristri, Kalau sudah…..” Kata seorang kawan sejawatnya.
“Kalau sudah, apa maumu?!” potong sang istri lantang.
Pakem Tegal, 25-11-2020
Hari Guru Nasional
Leo Sutrisno