Oleh : Khatijah
“Bille balik, Jah?” pertanyaan itu yang akhir-akhir ini berkumpul di benakku, entahlah rasanya liburan kali ini tidak sedikitpun niat yang terkumpul untuk pulang ke kampung. Bukan tidak ada rasa rindu, bukan hilangnya kenangan indah di kampung halaman, bukan juga melupakan proses yang ada di sana.
Bahkan aku lebih dari kata sangat merindukan suasana siang di rumah, ribut akan tetangga bergosip ria di teras rumah, apalagi saat aku menatap senja ingin sekali menyaksikannya di pantai Putri Serayi.
Pertanyaan yang dilontarkan ibu maupun saudaraku tentang kepulangan tak sama sekali membuat aku tergugah untuk pulang, tapi kali ini ayahku yang bertanya. Entah dengan niat apa dan bacaan apa yang dilakukannya sebelum bertanya kepadaku. Hati ini serasa dipukul telak tepat di jantung hingga membuat bergetar seluruh jiwa, ada beban yang menuntutku untuk pulang.
Suara berat itu, suara yang selama ini memperjuangkan masa depanku agar lebih baik, suara seorang lelaki yang selama ini dengan susah payah aku memanggilnya ayah karena memang sangat mengganjal untuk menetapkan hati bahwa dia adalah ayahku, ayah baruku.
Perjuangan yang selama ini dilakukannya memang selalu ku-buta-kan, aku selalu mempersalahkan dirinya, proses yang berat ini karena kesalah-pilihannya, kemauannya yang terlalu besar berambisi, impiannya sebagai seorang ayah yang menurutku memang tak perlu ia harapkan dari seorang anak tiri sepertiku. Iya, aku memang manusia yang tak pandai bersyukur, manusia munafik yang tak tahu berterima kasih, manusia yang, ahhh… tak punya hati.
Tapi hari ini, kalimat itu benar-benar menyayat hatiku, suara parau yang jelas sekali kulihat sangat lelah memperjuangkan impiannya, impian seorang ayah ingin dipandang sebagai ayah terbaik, ayah yang mampu menjadikan anaknya mendapat gelar sarjana, bau peluh itu tercium samar di hidungku. Entah berapa banyak ia menetes demi aku agar tetap bertahan di atas proses.
Ayah, aku anak tirimu yang tak tahu malu, anak tiri yang durhaka, maaf ayah karena pernah sekali kau marah kepadaku karena kalimat, “Aku ingin berhenti kuliah”. Bukan ayah bukan aku tak ingin seperti apa yang kau impikan, bukan pula tak mau menjadi anak yang berbakti kepada kedua orangtua. Aku hanya tak ingin menjadi perbincangan anak-anakmu yang lain yang tidak mampu kau beri fasilitas sepertiku, aku hanya sadar diri aku sebatas anak tiri yang tak perlu punya mimpi, dan aku tak ingin merepotkan kalian karena banyaknya uang yang harus kuperah dari keringatmu. Aku tak mau itu ayah, aku tak ingin menjadi salah satu masalah dalam keluarga. Hanya itu ayah hanya itu. Aku tak tahu ayah, apa lagi yang harus kuucapkan, aku tak pandai menyusun kalimat agar kau tak tersakiti, ayah aku minta maaf. Ayah terima kasih banyak, Ayah. (*)
Pontianak, 22 Januari 2018