Oleh: Yanti Mirdayanti
Suatu hari. Saat udara panas sekali. Sebelum turun hujan pada sore harinya. Berpiknik di taman dekat rumah, sambil ngopi-ngopi, makan kue, dan baca-baca buku. Sesekali bernyanyi, diantaranya lagu dari Frank Sinatra “Fly Me To The Moon”.
Tak lama kemudian, sedang enak-enaknya berpiknik, kudengar ada perempuan muda Jerman menangis sesegukan sambil berbicara di telepon genggamnya. Aku pun berhenti berpiknik gembiraku. Posisi si perempuan tak begitu jauh dari tempatku.
Karena dia menangis terus sambil duduk di atas bangku taman, maka perempuan muda itu kudekati dan kuberikan sebungkus tisu yang kebetulan ada di tasku.
Sebelumnya sudah banyak orang berlalu lalang di depannya, tetapi tak ada satu pun yang berhenti dan menyapa sang perempuan yang tengah segukan sambil menelpon itu. Mungkin mereka yang lalu lalang itu tak ingin terlalu ikut campur tangan. Orang-orang Jerman sangat menghargai ranah privasi orang.
Namun, aku orang Asia. Selalu tak tega jika membiarkan orang bersedih hati, apalagi sambil menangis berlama-lama di tempat terbuka. Maka kusapa wanita yang tengah dilanda rasa gundah merana itu.
Dia kutanya: Mengapa Anda menangis? Barangkali ada yang bisa kubantu? Ayo, Anda mau minum kopi dengan saya di cafè seberang sana? Ayo, mau makan makanan Italia di restoran seberang cafè sana? Anda mungkin mau minum air? Dan seterusnya kutawari hal-hal. Karena barangkali dia haus atau lapar.
Setelah kusebut bahwa aku tetangga, tinggal tak jauh dari taman ini dan profesiku apa, maka akhirnya dia mulai bercerita panjang lebar. Umurnya masih 27 tahun dan berparas cantik. Dia sempat bertanya dari mana aku berasal. Setelah kujawab dari Indonesia, dia tersenyum senang.
Dia berterima kasih telah disapa dan bercerita bahwa dia baru saja diputuskan sang pacar yang sudah hidup bersamanya selama dua tahun. Mereka baru saja bertengkar dengan sengit. Dia pun kini harus pergi keluar dari apartemen, diusir sang kekasih dengan kemarahannya yang sangat.
Aku terus duduk di sebelahnya sambil menunggu kesedihannya lebih mereda. Sambil kuajak ngobrol terus, aku pun bergurau ke sana ke mari menghiburnya. Bagaikan seorang psikolog, aku berhasil meredakan kesedihannya!
Lama-lama dia pun tak menangis lagi. Hanya kadang saja. Unek-uneknya dia keluarkan. Dan akupun bercerita tentang rumitnya kehidupan, namun juga tentang indahnya kehidupan. Kutunjukkan rasa simpatiku kepadanya. Kuhindari kata-kata yang berbau menasihati.
Kuajak dia untuk lebih melihat sisi terang dari kehidupan ini. Kubilang: Kebahagiaan hidup itu sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh kita sendiri, bukan oleh orang lain, bahkan bukan oleh partner hidup kita sekali pun. Keputusan- keputusan dalam hidup ini tetap berada di tangan kita sendiri. Yang terpenting adalah bahwa kita sebagai perempuan juga harus bisa menciptakan rasa bahagia dan kemerdekaan sendiri. Termasuk kemerdekaan dalam berpikiran dan mengambil keputusan-keputusan yang dirasakan cocok dan terbaik untuk kita. Jika hal-hal itu sudah bisa kita raih, maka akan nyamanlah hidup kita.
Kutambahkan: Anda ini masih muda, cantik, dan mempunyai pekerjaan. Ditinggal kekasih yang baru berhubungan dua tahun bukanlah akhir dari kebahagiaan hidup Anda. Mungkin ya Anda sangat mencintai kekasih Anda ini sekarang dan kaget serta kecewa kini disuruh pergi meninggalkannya. Tetapi percayalah, seiring waktu, perasaan Anda akan berubah terhadapnya, apalagi dengan kekecewaan hasil pertengkaran berdua hari ini yang tidak menyisakan kenangan indah lagi. Petualangan hidup yang lebih indah kini terbentang luas di hadapan Anda. Nikmatilah!
Karena ada Zoom – Meeting yang harus kuikuti dari rumah sore itu, akhirnya setelah ngobrol lama dengan dia, aku pun terpaksa harus berpamitan. Sebelum aku pergi, kami saling bertukar nomor telepon.
Dia memutuskan untuk mengepak barang-barangnya hari itu juga dan langsung terbang dari Hamburg sorenya, ambil cuti kerja seminggu, menuju rumah orang tuanya di Jerman Selatan. Seminggu kemudian dia akan kembali lagi ke Hamburg untuk bekerja kembali.
Malam harinya aku dapat kabar dari dia bahwa dia sudah sampai di rumah orang tuanya dengan baik. Dia berhasil mendapat tiket pesawat sore harinya!
Aku pun merasa lega …
Dia juga menambahkan di WA-nya:
Sebagai rasa terima kasih saya, saya ingin mengundangmu minum kopi nanti saat aku sudah berada kembali di Hamburg.
Kujawab: Tentu saja. Dengan senang hati, kuterima undanganmu! Sekarang nikmatilah dulu masa cuti seminggumu bersama kedua orang tua tercintamu di sana!
(Hamburg, Juni 2020)