Oleh: Juharis
Perang pemikiran sering terlihat diberbagai disiplin ilmu, ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan agama. Perang yang menghabiskan energi dalam otak, menguras habis semua komponen pengetahuan sesuai bidang yang digelutinya. Sehingga banyak para pemikir yang mempunyai rambut rontok di depan dan lebat dibelakang. Mungkin itu sudah menjadi simbol bagi orang-orang yang notabenenya adalah pemikir keras, profesor lebih tepat sebagai penamaan bagi mereka.
Mempunyai pemikiran luar biasa memang sudah menjadi dambaan setiap manusia, siapa yang tak mengenal Zakir Naik seorang da’i, pembicara umum dan penceramah muslim internasional berkebangsaan India. Beliau terkenal dengan kecerdasannya, hampir isi kitab seluruh agama dihafalnya bahkan beserta halamannya. Hebatnya lagi, akibat ceramahnya banyak diantara umat berbeda agama masuk Islam karena terpikat dengan gaya pemikiran yang disampaikan oleh beliau.
Tingkat pemikiran yang berisi pengetahuan sebenarnya siapapun mampu meningkatkannya, karena hal tersebut tidak lain diperoleh dengan kemauan berusaha. Kita bisa belajar dari orang-orang terdahulu. Disebutkan dalam kitab Al Ilmu karya Al-Utsaimin, seorang penuntut ilmu bernama Al Kisa’i suatu ketika belajar, namun ia sempat menyerah akibat tidak bisa menyerap seluruh ilmu yang dipelajarinya, hingga akhirnya beliau menyerah dan tidak lagi menuntut ilmu. dalam perjalanan pulang ia melihat sekumpulan semut membawa makanan diatas batu yang kemiringannya mencapai 90 derajat. Setiap kali memanjat semut itu berulang kaki terjatuh, karena terus mencoba akhirnya semut tersebut berhasil memanggul makanannya sampai dipuncak batu. Sejenak Al Kisa’i termenung, dalam hatinya berkata “semut saja pantang menyerah untuk mencapai keinginannya.” Setelah kejadian itu Al Kisa’i kembali ke jalur menuntut ilmu dan bersungguh-sungguh. Dikemudian hari beliau terkenal dan menjadi seorang yang ahli dalam ilmu Nahwu, siapapun yang belajar ilmu Nahwu dimasa itu pasti menyebut-nyebut nama beliau.
Di antara hal yang dapat memperkuat pemikiran dan kecerdasan adalah memperbanyak diskusi. Diskusi dikalangan mahasiswa sebagai cendekia muda sudah tidak asing lagi, belajar model dialetika ini akan semakin meningkatkan kadar intelektual seorang mahasiswa agar bisa menjadi agen perubahan yang mumpuni dalam bidangnya. Bukan sepenuhnya dikatakan mahasiswa jika kemudian diskusi tidak dikembangkan di dunia perkampusan, ketika melihat intensitas keaktifan diskusi antara seorang mahasiswa dan dosen ternyata berasio 75% mahasiswa dan 25% dosen. Bisa dikatakan mahasiswa dituntut aktif dalam setiap diskusinya sementara dosen adalah katalisator sekaligus fasilitator yang menunjukkan jalan tengah.
Ironisnya, di zaman serba instan dan modern ini diskusi menjadi sesuatu yang vakum di kalangan mahasiswa. Ruang kelas layaknya sebuah perpustakaan dengan aturan tidak boleh bising dan harus tenang. Cendekia muda diam membisu, bagaimana mungkin bisa menjadi seorang agen perubahan yang memberantas degradasi moral dinegeri ini belum lagi berbagai kasus yang melibatkan berbagai pihak. Diskusi memang bukan sepenuhnya sebagai jaminan keberhasilan seorang mahasiswa, tapi teori dan praktek akan lebih valid kebenarannya dengan adanya diskusi.
Modernisasi menjadi satu diantara terhambatnya diskusi mahasiswa, bisa diperhatikan saat berlangsungnya perkuliahan masing-masing sibuk dengan gadget mereka. Sosial media, game, dan segala hal yang berhubungan dengan gadget pemicu timbulnya budaya bisu cendekia muda. Dunia perkuliahan sebetulnya adalah sebenar-benarnya sekolah karena kuliah yang ditekankan aktif untuk mencari masalah sampai menemukan masalah adalah mahasiswa itu sendiri. Apabila budaya bisu terus dibiasakan, apa bedanya kita dengan orang yang tidak kuliah diluar sana atau bahkan lebih pintar mereka. Selain itu, malas membaca dan mencari informasi pun menjadi sebab timbulnya budaya bisu dikalangan agen perubahan yang satu ini. Jangan sampai budaya bisu terus berlanjut karena diwariskan kepada adik-adik tingkat mahasiswa. Bagaimana tidak, budaya tersebut tanpa disadari diwariskan secara turun temurun kepada mahasiswa yang baru masuk. Stigma negatif yang mereka terima menjadi pandangan mereka sebagai bahan panutan, jangan sampai itu terjadi.
Membangun budaya diskusi dan menyembuhkan bisu harus senantiasa ditanamkan kepada setiap mahasiswa, dosen sebagai fasilitator atau penengah sangat diharapkan mampu memberikan pengaruh positif terhadap mahasiswanya, bisa melalui motivasi atau dengan metode pembelajaran yang berusaha mengembangkan budaya diskusi. Suatu permasalahan yang terdapat banyak perbedaan pendapat atau ragam teori melaui diskusi akan ditemukan titik temu, itulah mengapa diskusi urgen dikalangan mahasiswa. Diskusi juga memberikan pengaruh terhadap karakter bijak mahasiswa. Akan tetapi, tidak seimbang rasanya jika sekedar dosen yang berusaha mengaktifkan kepasifan mahasiswanya. Oleh karena itu, harus ada korelasi antara mahasiswa dan dosen dalam menghilangkan kebisuan budaya diskusi.
(Penulis adalah Mahasiswa Ekonomi Islam IAIN PONTIANAK)