Oleh: Farninda Aditya
“Orang Bugis ‘kan, banyak yang Belenggang”, kata Nenek dari pihak Suami.
Mak yang datang dari Mempawah, membawa kelapa pirang atau dalam bahasa Melayu “Perang”, seperti warna untuk rambut atau kelapa bewarna jingga. Kelapa itu diambil oleh pemanjat di sana. Sebelum mengambil kelapa yang pohonnya seperti pohon kelapa Hibrida pada umumnya itu, ia bertanya.
“Ini untok ape?” Mak menirukan.
“Untok ape lah?” Mak bertanya balik padanya. Maklum, kelapa pirang memang identik digunakan dalam upacara budaya.
“Untuk Belenggang “, jawabnya
“Aaa betol”, Emak mengiyakan.
“Oo, kok gituk, ndak boleh dijatokkan”.
Belum diketahui, alasan kenapa kelapa itu tidak boleh dijatuhkan. Apakah karena bagian dari pantang larang, atau agar kelapa tetap terlihat mulus.
Sayangnya, kelapa itu kemudian tidak dipakai, mungkin karena kulitnya tidak mulus. Bentuknya pun lebih lonjong. Sudah terlalu tua, sulit diukir. Akhirnya diganti dengan kelapa yang lebih muda, mulus, dan lebih bulat.
Kemudian, kelapa ditulis Allah, Muhammad, dan Bismillahirrahmanirrahim dalam tulisan Arab. Sepertinya, tidak ada keharusan menulis 3 tulisan ini di kelapa, sebab sebelumnya rencana yang akan ditulis itu hanya Bismillahirrahmaniirahim.
Kelapa tersebut diletakkan di tengah-tengah, antara orang-orang yang membaca doa. Doa yang dipanjatkan agar anak yang dalam kandungan sehat, dan lahir menjadi anak yang saleh-salehah. Surah wajib yang dibaca dalam adalah surah Yusuf dan Maryam.
“Kalau Surah Yusuf bisa ganteng seperti Nabi Yusuf, kalau Surah Maryam secantik Maryam”, harapan dari mertua.
Selain Kelapa, ada juga air bunga. Bunga tersebut bermacam-macam. Tidak sampai 7 jenis seperti biasa orang sebut Kembang 7 rupa. Bunga tersebut, Kemuning, Mawar putih, Bogenvil atau disebut bunga kertas bewarna ungu dan merah muda, bunga jarum-jarum bewarna merah, dan daun pandan. Daun pandan diiris tipis seperti untuk bunga rampai.
Setelah dibacakan doa, kelapa ditandai di bagian mana untuk membelahnya. Pak Aji, kemudian menunjukan posisi tersebut. Posisinya memang tidak ada pada kulit yang tertulis. Bagian bidang dari tiga sisi kelapa. Kalau untuk jurus membelah kelapa, seharusnya memang di bagian datar tersebut. Namun, apakah ada hubungannya. Entahlah.
Memudahkan agar saat dibelah posisinya tidak salah, bagian itu digaris dengan paku. Berbentuk horizontal. Kemudian paku ditancap miring.
“Jangan disimpan di bawah, simpan di atas lemari”, kami dipesankan.
Kelapa dan air bunga akan digunakan untuk mandi. Sebelum mandi, ada prosesi urutan untuk calon ibu. Mengurut perut untuk melembutkan urat-urat dan mengetahui posisi janin. Selesainya, calon Ibu dan Ayah dimandikan dengan air bunga. Lalu, kelapa yang ditandai tadi akan dibelah oleh calon ayah. Jika belahan tersebut tepat pada tanda garis yang dibuat, maka itu pertanda calon bayi berkelamin laki-laki, jika meleset ya perempuan.
Saat proses membelah dilakukan, hasilnya ternyata meleset, “Ha, Bini'”, kata mertua dalam bahasa Ngabang. Artinya “Ha, perempuan”. (lanjut)