Oleh: Nur Iskandar
Suatu malam saya bermimpi Presiden Soeharto memberikan hadiah jam tangan emas ke lengan kiri. Terperanjat bangun, tak tentu pasal, saya balikkan bantal untuk kemudian tidur kembali. Saat bangun saya berpikir, apa makna mimpi tadi malam? Kok rasanya aneh sekali. Kata emak saya, bagus mimpi ketemu orang besar. Setidaknya beralamat baek…
Ooo betul. Alamat baek itu datang dari Bandung. Saya dapat undangan untuk diklat pers mahasiswa tingkat lanjut / tingkat pembina. Terbanglah dengan pesawat, sesuatu banget bagi kami yang masih mahasiswa. Apalagi biaya PP ditanggung kampus, termasuk uang jajan selama misi perjalanan.
Di Bandung selain mengikuti Diklat Jurnalistik, saya juga punya misi khusus, yakni mengecek LKTI IPA tingkat nasional di ITB setelah lolos seleksi di Untan. Mengirit biaya saya inap di UKM Pers. Adalah aktivis pers kampus, Pimred Tabloid Isola, IKIP Bandung, Adang Durrahman Bokin mengajak saya liputan ke ITB. Ada kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Teknologi yang diikuti puluhan delegasi negeri manca. Maka bak gayung bersambut. Sekali dayung dua tiga pulau lewat. Ibarat sekali menyelam minum air.
Di ITB saya kecewa karena momen final LKTI IPA telah lewat. Saya sebagai finalis tidak tahu schedul. Ada masalah tidak sampainya undangan ke PR III Untan bidang kemahasiswaan yang saat itu dijabat Drs H Mustafa Kamal. Nasi sudah jadi bubur. Kecewa sedikit ga pa pa, saya terhibur ajakan Adang Durrahman meliput even internasional di Ganesha. Di kampus papan atas Indonesia almamaternya Bung Karno ini saya mendengar dengan khidmat keynote speech Menristek Prof Dr Ing BJ Habibie. Bicaranya penuh intonasi. Terkadang meledak karena full spirit dan cerah ceria. Tahulah gaya Habibie kalau berbicara.
Di atas mimbar, pria ilmuan yang dijuluki Mr Crack karena teori cracker alias getaran pesawat temuannya banjir applaus. Dengan jas warna abu- abu dihias dasi kupu-kupu Pak Habibie saat itu full proud dengan Industri Pesawat Terbang Nusantara yang kita kenal dengan IPTN. Indonesia satu satunya negara Asia Tenggara yang mampu memproduksi pesawat…saya pun bangga.
Di momentum KTT Teknologi inilah kali pertama diterapkan teleconferen. Dimana ajang KTT dibuka langsung oleh Presiden RI HM Soeharto dari Binagraha, Jakarta. Sajian penghubung internet saat itu sesuatu yang sangat wah…
Saya baru klik. Ooh ini takwil mimpi saya. Meliput si pemberi jam tangan emas, Presiden RI the smiling general.
Seusai pembukaan yang interaktif antara Pak Habibie dan Pak Harto, para kuli tinta menyerbu Habibie untuk wawancara, tak terkecuali Adang dan saya. Sayang waktu itu tak ada kamera…kamera yang dibawa ala tradisional. Isi film habis dipakai saat Diklat. Satu satunya harapan adalah melihat hasil cetak humas, namun tidak ada yang memajang hasil jepretannya. Padahal posisi dengan Pak Habibie sangat dekat.
Lagi lagi kecewa sedikit ga pa pa, sebab momentum emas tak bernilai harganya. Sebab saya jadi tahu, ternyata sosok super genius itu bertubuh semampai. Lucu. Dan culun…semestinya lebih banyak anak bangsa yang bertubuh tinggi, besar, berpikiran lebih besar…
*
Kekaguman pada figur Habibie dimindset juga oleh berita TVRI, saluran satu satunya TV Indonesia era 80-an. Beliau tokoh sentral kebangkitan teknologi Indonesia. Semasa Pak Harto presiden kepercayaan posisi Menristek selalu jatuh ke pundak pria kelahiran Pare pare Sulawesi Selatan itu.
Saya termindset juga oleh berita TVRI soal Habibie. Dan saat SMP, tahun 87 saya membaca Setengah Abad Habibie. Sebuah buku tebal. Hampir 2x lipat tebal Quran.
Dari buku itu saya tahu Habibie suka berenang, giat baca buku, dan sosok pejuang. Dia juga suka menulis puisi. Jiwa teknologinya berpadu dengan rasa sastra. Sebuah perpaduan yang unik.
Dari membaca buku 50th Habibie saya kemudian membaca buku karya A Makmur Makka orang dekatnya. Banyak sisi menarik sosok yang kemudian menjadi Wapresnya Soeharto dan ketika reformasi bergulir, Habibie menjadi Presiden RI ke-3.
*
Tahun 95 di bumi khaTULIStiwa dicanangkan gerakan gemar membaca dan menulis. Saya meliput kegiatan yang dibuka Presiden RI Soeharto. Kali ini kamera analog ready. Hasil jepretan jarak 5 meter pun diperoleh.
GOR Pangsuma saat itu gegap gempita, namun saat Soeharto melangkah masuk suara tetiba hening. Di sana saya merasakan aura rrruar biasa dari pejabat tinggi negara. Di sini saya menikmati liputan dari suatu kata: wibawa.
Jarak paling dekat dengan Presiden secara protokoler waktu itu minimal 5 meter. Saya tak sempat bilang terima kasih atas “hadiah jam tangan emasnya”. Tapi peristiwa di atas secara keseluruhan adalah detik demi detik yang bergerak. Sejarah yang diukir oleh orang orang besar saya rasakan lebih dari logam mulia 24 karat. Semoga kisah di atas merupakan kisah emas sepanjang pengalaman meliput Presiden RI ke-2 dan Presiden RI 3.
*
Sebagai orang Bugis tentu saya ingin tahu lebih banyak tentang Habibie yang lahir di negeri Daeng. Rupanya, yang jarang terekspose, bahwa beliau hobi makan bronko. Apa itu bronko? Kue. Kue sejenis nagasari. Namun inti pisang bukannya diiris dan dibalut tepung beras, melainkan pisang Nipah diblender seperti juice. Saya juga suka bronko. Anda sudah pernah mencoba? Uenak tenan. Apalagi disajikan dingin dari freezer. Air gulanya keluar. Maneeez.
Kendati belum pernah sampai ke Pare pare, tapi saya menginjakkan kaki ke Makassar. Di pasar saya melihat pisang Nipah menumpuk. Sama persis di Pontianak. Dari sini saya melihat ada korelasi positif antara varitas pisang dengan kehadiran petani Bugis di Kalimantan.
Kisah peradaban pertanian adalah kisah emas hijau yang jauh lebih kemilau. Dia akan lebih hebat jika disempurnakan dengan high technology seperti kerap dicetuskan Habibie. Per 11 September 2019 Habibie menghembuskan napasnya yang terakhir dalam usia 83 tahun. Alfatihah. * (Foto bersama Adang Durrahman Bokin, hasil jepretan di GOR Pangsuma, dan foto Habibie in memoriam di sosmed).