Oleh: Ambaryani
Sebulan lalu, saat aktivitas masih berjalan normal. Teman-teman sekantor sudah cukup sering menyebut-nyebut ‘harumnya’ Ramadan sudah tercium. Bahkan muncul tema ‘cuaca’ Ramadan sudah terasa.
Ya tidak lama lagi Ramadan datang. Jika tahun-tahun sebelumnya, di bulan Sya’ban bahkan 3 bulan sebelum Ramadan tayangan-tayangan televisi sudah berkonten bulan puasa. Tapi saat ini televisi dan media-media sedang banjir berita pandemi corona.
Tahun-tahun sebelumnya, sebulan sebelum Ramadan lapak-lapak juadah puasa, kantin Ramadan sudah mulai berdiri. Remaja dan pengurus masjid-masjid sudah mulai mempersiapkan masjid untuk salat tarawih.
Warga di gang-gang dan komplek mulai kerja bakti membersihkan lingkungan sebelum Ramadan. Lampu-lampu hias warna-warni mulai dipasang. Tapi itu tahun-tahun sebelumnya.
Anak sulung saya yang selalu bersemangat untuk lebaran di kampung sempat uring-uringan saat saya beri penjelasan bahwa tahun ini besar kemungkinan akan melalui lebaran yang agak berbeda dan tidak pulang ke kampung embah kakongnya.
“Kita tak jadi pulang kampung Bun? Kita nanti salat Ied gimana? Lebaran nanti tak ada main-mainlah ya Bun?”, anak lanang membrondong saya dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Anak-anak harus mendapatkan recovey lebih untuk menghadapi situasi yang sedang tidak kondusif ini. Termasuk kenapa mereka harus menjaga jarak dengan teman-teman sepermainannya. Mengapa mereka harus belajar di rumah.
Saat ini bayang-bayang bulan Ramadan dan Syawal seperti tahun-tahun sebelumnya seakan masih abu-abu atau mungkin bahkan lebih hikmat. Lebih hikmat karena kita punya waktu lebih banyak untuk bertafakur. Berdiam diri di rumah. Tak ada kumpul-kumpul bukber yang kadang justru membuat banyak hal terlewatkan.
Semoga datangnya Ramadan yang membawa berkah bagi semua dibarengi dengan berakhirnya covid 19 di negeri ini. Semoga bulan kemenangan nanti bisa dinikmati dengan hikmat dan kemenangan kita terbebas dari wabah yang sedang melanda seluruh penjuru negeri. Amin.