Oleh: Yusriadi
Hari itu, orang rumah mengajak pergi ke danau. Katanya di sana anak-anak bisa berkano dan berenang.
Tentu saja saya antusias. Saya menikmati dua aktivitas itu. Selain untuk merenggangkan otot, sungai dan perahu membangkitkan nostalgia masa kecil saat bermain bersama teman.
Anak saya juga antuias. Mereka suka berenang dan bersampan. Kalau dibawa ke kolam renang mereka tahan berjam-jam di dalam air. Begitu juga ketika dibawa ke pulau Lemukutan beberapa waktu lalu. Ombak dan air asin bisa dengan cepat dilupakan kala sudah memegang dayung. Justru, saya yang khawatir melihat kenekatan mereka menyambut ombak yang memukul kano.
Sudah sering kali mereka meminta diajak ke pulau untuk menikmati keseruan itu. Namun, apa daya, Lemukutan cukup jauh untuk dijangkau.
Pagi sekali kami sudah pergi ke danau. “Makin awal makin bagus,” kata orang rumah.
Bagus, karena tidak terpanggang panas, dan bagus juga karena belum ramai orang. Minggu sebelumnya, temannya ke danau tidak cukup puas karena pengunjung ramai gantian kano.
Makanya, pukul 5 pagi anak-anak sudah mulai mempersiapkan diri. Harap-harap pukul 6 kami sudah berangkat ke lokasi.
Perjalanan menuju lokasi lumayan lama. Dari Kobar Ujung, melintasi A Yani, hingga Kuala Dua, dan kemudian tiba di lokasi searah perjalanan ke Alas. Alas adalah bentuk singkat untuk PT Alas Kusuma. Nama ini merujuk pada lokasi perusahaan kayu yang legendaris di Kalbar. Masa jaya kayu Kalbar sekitar tahun 1980-1990an.
Kami tiba di lokasi sekitar pukul 8. Danau di sebelah kanan jalan, terlihat dari tikungan jalan. Tidak terlihat keramaian seperti yang dibayangkan. Malah, kami menjadi pengunjung kedua kala pengelola danau belum bersiap menerima pengunjung. Warung di pinggir danau masih tutup.
Tapi, penjaga kano sudah ada. Kami bisa langsung meminjam kano dan ban pelampung.
Mula-mula anak-anak terlihat agak ngeri-ngeri memulai. Minta dibantu untuk merasa aman. Kami berputar-putar dari ujung ke ujung.
Makin lama anak-anak makin berani. Terakhir malah ingin sendiri. Si Adek, yang walau masih berenang macam berang-berang, tetap ingin bergerak lebih bebas.
Tak peduli kulit sudah berubah warna agak putih biru. Tak peduli ujung jari sudah keriput. Satu setengah jam berlalu. Tak peduli juga ayah bundanya sudah berkali-kali mengajak naik.
Hingga kemudian mereka siap berhenti. Waktu sudah mendekati pukul 10 pagi, dan pengunjung mulai ramai. Pendopo mulai berisi.
Kami pulang. Anak-anak mengaku seronok dan ingin kembali. Kami mengiyakan. Kami harap mereka bisa berenang. Itu untuk kepentingan ke depan. Sekalian biar mereka bisa menikmati lingkungan.
Saya bersyukur ada danau buatan ini. Danau yang bisa menjadi tempat belajar dan berlibur. (*)