Oleh: Yusriadi
Pendidikan untuk anak negeri ini, senjang. Anak di desa, pedalaman, mendapat layanan pendidikan yang minimum dibandingkan anak-anak di pusat kota.
Itulah salah satu hasil percakapan saya dengan Dr. Abror, Selasa itu di ruangannya. Guru banyak orang ini semula menyampaikan idenya agar kegiatan Club Menulis IAIN Pontianak lebih optimal. Setelah menyampaikan saran itu, percakapan kami melebar soal budaya tulis, kemudian tentang pendidikan dan pengajaran.
Kami pun bicara soal pendidikan calon guru pada lembaga pendidikan, kebijakan pemerintah, kurikulum baru, rekrutmen guru, dan seterusnya.
Tak urung perbandingan pendidikan di pedalaman dan perkotaan muncul. Guru yang sedikit, disiplin yang longgar, metode pembelajaran monoton, media pembelajaran yang terbatas, dukungan orang tua yang kian sedikit, dll.
Malangnya kebijakan pembangunan pendidikan untuk pedesaan, sejauh ini… payah cakap.
Pelajar dan guru di kampung semakin merana ketika bangsa ini mulai memasuki era 4.0, yang semua hal berbasis internet, online. Ujian online, berita dan informasi untuk mereka disampaikan online, administrasi guru dan siswa diurus secara online.
Sementara, tower berkilo-kilo jauhnya dari mereka. Sinyal datang-hilang. Komputer entah di mana. Listrik untuk penunjang juga payah dikata. Jauh para dari api.
Secara khusus anak-anak pedesaan tertentu lebih menderita. Guru mereka terbatas. Jika pun ada guru negeri yang diangkat pemerintah, bukan guru pengabdi. Guru baru seperti alien, datang dari dunia yang lain, muncul sesekali, “tak cocok” dan tak dapat menyesuaikan diri dengan desa tempat tugasnya. Mereka tak bertempat tinggal tetap, merasa ingin secepatnya hilang dari pandangan siswa. Mereka menyediakan tenaga honorer untuk mengganti tugas dan kewajiban muncul di sekolah.
Sebelas dua belas, pengawas yang mengontrol mereka. Soal guru jarang masuk, soal murid ditangani honorer, soal jam belajar yang tidak full, dll. bukannya pengawas tidak tahu. Mereka tahu, dan mereka “mentolerirnya” atas nama “kemanusiaan guru negeri”.
Pengawas tidak melihat dari sisi betapa malangnya anak desa yang belajar dari situasi “toleransi kewajiban guru itu.
Orang tua? Sama juga. Mereka –secara kolektif kononnya peduli pada pendidikan anak, bersikap lain. Mereka permisif. Apa yang terjadi di sekolah, terjadilah. Urusan sekolah, urusan sekolah.
Perhatian pada guru cenderung dianggap hanya tugas dinas pendidikan. Guru mau menginap di mana, guru bagaimana nasibnya, guru mengajar seperti apa disiplinnya, tak terpikir mereka jalan keluarnya. (*)