Oleh: Leo Sutrisno
Diberitakan, Menteri Nadiem Makarim menyepakati usulan DPR agar melepaskan dosen dari keharusan mempublikasikan artikelnya pada jurnal ilmiah yang terindeks internasional (Liputan6.com/22 Feb 2020). Kebijakan ini disebut searah dengan ‘merdeka belajar’. Namun, pelaksanaannya diserahkan kepada universitas masing-masing.
Bagi sebagian (besar) dosen, kewajiban ini dirasa memberatkan. Pada umumnya, ada empat kendala yang dihadapi para dosen ketika akan menerbitkan artikelnya di jurnal internasional. Di antaranya adalah: kebahasaan, konsistensi editorial, kehandalan metode, serta kemuthakiran isi. Dalam tulisan ini disajikan sejumlah temuan yang dilakukan oleh para editor tentang artikel berbahasa Inggris yang ditulis akademisi ‘non-English speaking’.
Daphne van Weijen, (29 September 2014), dari Elsevier, memberitahukan bahwa Scopus pernah melakukan telaah pada 73 artikel dan review yang berasal dari negara-negara yang tidak berbahasa Inggris dan diterbitkan antara 1993-2013. Selain menelaah artikel juga melakukan komunikasi langsung dengan sejumlah penulisnya dan ‘reviewer’.
Berikut ini sejumlah temuannya.
Kendala yang paling menonjol berkaitan dengan kebahasaan. Bagi para penulis, menulis artikel dalam bahasa Inggris merupakan beban yang berat. Akibatnya, dibandingkan dengan teman sejawatnya dari negara-negara yang bahasa ibunya bahasa Inggris, waktu yang mereka pergunakan untuk menulis lebih lama.
Kedua, ditemukan penggunaan berbagai kekeliruan linguistik dan/atau penggunaan gaya retorikal atau regional yang tidak sesuai dengan gaya bahasa Inggris. Keberadaan kekeliruan semacam ini mempengaruhi kecepatan telaah para periviu. Akibatnya, proses riviu perlu waktu yang lebih lama. Jika digabungkan dengan kendala pertama, kemuthakiran isi menjadi tidak terpenuhi.
Ketiga, para penulis mempunyai kesulitan dalam membuat parafrasa dari tulisan lain. Akibatnya, ada potensi plagiarisasi. Plagiarisasi itu juga merupakan kelemahan keempat.
Kelemahan kelima, para penulis kurang mengenal sejumlah gaya retorikal yang umum dipakai oleh komunitas para peneliti dari negara-negara penutur bahasa Inggris. Karena itu, tulisannya tidak komunikatif.
Di atas kelima kelemahan ini adalah ‘wordle’. Pada umumnya artikel menjadi sangat panjang dan bertele-tele. Sehingga, kriteria singkat, padat dan lengkap tidak terpenuhi.
Selain aspek kebahasaan dan editorial, ditemukan juga indikasi yang menunjukkan bahwa para peneliti dari negara-negara ini kurang berjejaring dengan koleganya dari negara-negara maju. Akibatnya, materi yang diteliti bersifat lokal dan/atau bukan yang berada di garis depan/terkini secara internasional.
Pada tahun 2018 Dr. Naveen Zehra Minai dari Pakistan membahas tentang tantangan yang dihadapi oleh para akademisi dari Negara-negara Selatan.
Salah satu isu yang paling besar adalah mereka kurang memiliki akses secara institusional terhadap jurnal internasional. Sehingga, kurang mengetahui akan perkembangan terkini dari penelitian yang dilaksanakan teman sejawatnya di negara-negara belahan Utara. Akibatnya mengalami kesulitan dalam menyusun rancangan penelitian yang terkini, mempublikasikan hasilnya, serta menyajikannya dalam suatu konferensi internasional.
Pada bulan Juni 2018, para editor dan penterjemah di seluruh Eropa berkumpul di Bosch (The SENSE 2018 conference). Mereka membahas berbagai tantangan yang harus dihadapi para penulis ilmiah dari sudut pandang para editor.
Disebutkan, pada umumnya, artikel ilmiah yang ditulis cenderung diarahkan kepada teman sejawat dalam bidangnya ketimbang kepada masyarakat umum yang lebih luas (bad habit writing). Karena itu, sajian yang jelas dan mudah dimengerti oleh masyarakat umum susah ditemukan. Seharusnya masalah, hipotesis (jika ada), metode, hasil dan pembahasan agar disajikan dengan jelas dan eksplisit sehingga mudah dipahami. Dengan begitu pembaca langsung memfokuskan perhatiannya pada materi tulisan.
Kelemahan kedua adalah ‘bad English’. Informasi yang disampaikan dalam publikasi ilmiah mesti akurat. Karena itu, selain tata bahasa juga diksi menjadi penting. Istilah yang digunakan mesti istilah yang berlaku pada bidang yang bersangkutan. Para editor manemukan kenyataan yang sebaliknya. Banyak digunakan kata-kata yang ‘non-standard Engglish’.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan itu, pertama-tama disarankan agar bersabar dan maju terus. Tidak mudah putus asa. Tidak cepat patah semangat. Yang kedua, agar berkolaborasi dengan peneliti lain. Juga membuat jejaring dengan sejawat baik secara nasional, regional maupun internasional. Saran keempat, agar meniru gaya sajian penulis lain, terutama tulisan para peneliti kesohor. Saran kelima, agar mentaati pedoman penulisan dari jurnal yang bersangkutan. Termasuk kode etik tulisan ilmiah. Dan, saran yang terakhir adalah melakukan ‘linguistic editing’ dengan cermat. Cermati agar tidak ada kesalahan editorial dan tipografikal.
Satu hal yang tidak banyak disadari manfaatnya adalah membuat tulisan dan diri kita visibel. Dengan kemajuan teknologi informasi dan teknologi komunikasi sekarang ini banyak cara yang dapat dilakukan agar tulisan dan penulisnya visibel. Misal membuat blog, Vlog, serta sejumlah aplikasi medsos yang lain. Tulisan, gagasan serta apa yang sedang dilakukan diunggah di situ.
Jika saran-saran ini sungguh dipenuhi, kiranya publikasi internsional bukan barang yang mustahil. Sebagai ilustrasi, berikut disajikan sepotong tanggapan reviewer tentang salah satu tulisan saya. “This is very well presented with minimum of typographical errors. The language is clear, consice and communicative. While the overall structure and order of presentation might have been organized more effectively in term reader comprehension. The outhor has commendable attention to detail and completeness.”
Sebagai penutup, walau kelak para dosen dibebaskan dari kewajiban menulis artikel yang terpublikasi secara internasional, ada baiknya tetap berusaha menghasilkan tulisan yang memenuhi standar internasional. Semoga!
Pakem Tegal, Yogya
5-3-2020