Gusti Afandi Ranie, Sang Mahaputra Indonesia

9 Min Read

* Catatan Syafaruddin Usman MHD

“Tahta dan kuasa bukan segalanya. Membela Republik (Indonesia) itu utama.” Begitu ketegasan sikap lelaki paruh baya yang kesehariannya penuh wibawa santun bersahaja ini.

Sikap tegas ini dikatakannya di hadapan para sepuh, orang sebaya dan generasi muda darinya di bawah temaram malam dengan penerangan lampu seadanya.

Lelaki berperawakan sedang dan wajah kharismatis ini bukan sembarang orang. Dia adalah raja, penguasa dan pemegang tahta yang duduk di singgasana. Adalah Gusti Mohammad Afandie Ranie. Ketika kata-kata bernas itu diucapkan, dia adalah Pangeran Mangkubumi Setia Negara Kerajaan Landak di Ngabang.

Kata-kata dari mulut sang raja adalah sabda penguasa yang bertahta dan tak terbantahkan. Dan apa yang diungkapkannya itu adalah itikad dan kehendak yang patut diikuti rakyatnya.

Dan sang raja penuh wibawa itu pun melanjutkan kalimatnya, “Berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini ketegasan. Bukan pilihan. Tapi kewajiban. Indonesia milik kita, maka bela Indonesia hingga hembus napas terakhir,” paparnya dengan suara menggelegar.

Bak halilintar membelah bumi, titah sang raja tak seorang pun rakyat Landak menyanggahnya. Kesemua yang mengelilinginya pada larut malam itu semua berikrar mengikuti semua perintah sang raja penuh pesona ini.

Lalu lelaki gagah yang selalu merakyat ini pun mengunci semua ungkapannya, “Aku paling depan memimpin rakyat Landak, majulah berjuang dan berperang. Harus menang. Sekalipun kita mati, untuk Indonesia, kita rela. Dan tahtaku adalah untuk Indonesia.”

Kata-kata bernas bak ombak memecah karang di laut lepas itu diungkapkannya beberapa jam sebelum meletusnya Pemberontakan Rakyat Landak, memasuki 10 Oktober nun 73 silam di tahun 1946. Dini hari saat itu memulai hari Jumat.

Dan selepas itu, meletuslah pertempuran hebat rakyat Landak terutama di Ngabang ibukota atau pusat dari onderafdeling di West Borneo itu.

Sejatinya Gusti Afandi bisa saja bersenang-senang atau berdiam diri, kolonial Belanda yang berusaha kembali menjajah meski Indonesia telah merdeka, pun bisa pula mendekat padanya, namun pilihan Gusti Afandi adalah lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah.

Sang raja yang memastikan tahtanya untuk rakyat dan Indonesia itu tegas bersikap anti dan nonkooperatif terhadap Belanda.

Tak urung, controleur AB Faber yang memimpin Belanda di Landak ditolaknya ketika sang controleur yang berpangkat gezageber itu ingin bertemu.

“Tak ada yang perlu dibicarakan. Landak bagian dari Indonesia, Belanda bukan tuan kami dan kami bukan lagi jajahan. Kemerdekaan bangsa kami patut kami pertahankan”, begitu lontarannya seraya mengusir sang controleur saat mendatangi dikediamannya di Kampung Raja Ngabang.

Begitulah suasana penuh heroik 73 tahun silam. Zaman penuh asap mesiu itu tak lepas merundung Ngabang.
Sejak 9 Oktober 1946 pukul 00 dinihari, Gusti Afandi memimpin grilya dan pertempuran di Landak. Pilihan hidup atau mati untuk Republik adalah motivasi yang menggerakkan hati nuraninya untuk terjun berjuang.
Bak harimau ganas, lelaki santun dan sejatinya dikenal pendiam itu “mengamuk” dibelantara Landak negeri yang dipimpinnya.

Kepada Gusti Abdulhamid Aun, Gusti Mohammad Said, Ya’ Nasri Osman, Bardan Nadi, Mane Pak Kasih, Bunyamin H Usman, Hamdan Budjang, Kimas Akil dan Merseb A Rahman serta lainnya, diinstruksikan Gusti Afandi untuk terus bertempur hingga tetes darah penghabisan.

Ngabang, negeri yang tak pernah henti dari pemberontakan menentang kolonial Belanda. Gusti Afandi sangat menyadari itu, sejak leluhurnya Ratu Mas Adi hingga kakek buyutnya Haji Gusti Kandut Mohamad Tabri Pangeran Nata Wirakesuma sampai ayahnya Gusti Abdurani Pangeran Natakusuma yang memimpin perlawanan rakyat Landak, menjadikan Gusti Afandi kian mantap untuk melanjutkan perjuangan bersenjata di kewedanaan Landak.

Pengalaman mengikuti sang ayah, Gusti Abdurani Pangeran Natakusuma, di tanah pengasingan hingga mangkat di Bengkulu, semakin membulatkan semangat Gusti Afandi untuk kian menggelorakan semangat anti kolonial.
Perjuangan rakyat Landak dibawah pimpinan Gusti Afandi, di mana Gusti Abdulhamid Aun, Gusti Mustafa Sotol, Gusti Tamdjid, Gusti Saleh Aliuddin, Gusti Lagum Amin, Ya’ A Rahim Anom dan kerabat lain yang menggerakkan, tercatat sebagai perlawanan rakyat Indonesia di Kalimantan Barat periode 1945–1949 sebagai perjuangan revolusi fisik dengan skala besar.

Besar dalam tindakan heroik dan besar pula korban jiwa yang timbul akibatnya. Bardan Nadi Sutrisno bersama sang putri jelitanya Paini Tresnowati yang saat itu berusia sekitar 5 tahun harus tumbang ke tanah diterjang peluru militer Belanda. Bahkan Bardan adalah putra pertiwi pertama yang diekskusi mati di Indonesia pada 17 April 1947.
Begitupun nasib nahas menimpa Mane Pak Kasih, Bunyamin H Usman, A Kasim H Usman, A Rani mereka diberondong tembakan gencar hingga erangan suara lirih yang paling akhir sembari mengucapkan kata “teruslah berjuang”.

Sementara Ya’ Nasri Osman alias Ya’ Dedeh menemui ajal dilarung ke laut lepas oleh kaki tangan NICA Belanda di teluk Jakarta saat pemimpin penyerbuan tangsi militer Ngabang ini saat dibawa untuk berobat ke Jakarta setelah mengalami sakit parah akibat siksaan tak berbatas selama meringkuk dalam penjara Belanda di Pontianak. Demikian pula Gusti Mohammad Said Ranie yang adalah adik dari Gusti Afandi sendiri. Said pun menemui ajal akibat tekanan penjajah Belanda yang mengintrogasinya bertubi-tubi.

Alhasil, dalam perang dengan senjata yang tak berimbang antara rakyat Landak dengan militer Belanda Oktober hingga Nopember 1946, dan juga akibat kelicikan Belanda menebar spionasenya, akhirnya Gusti Afandi tertangkap.
Wibawa yang dimilikinya menyebabkan militer Belanda segan untuk meringkusnya, tapi laksana singa yang memgamuk, Gusti Afandi terus menentang kolonial Belanda.

Geram dengan keberingasan sang raja Landak ini, Sersan Nyenhuijs komandan tempur militer Belanda di Ngabang hampir menembakkan senapan mesinnya ke tubuh Gusti Afandi.
Tak bergeming dengan ancaman itu, sebaliknya Gusti Afandi lantang menantang, “tunggu apalagi, tembaklah ayo tembakkan senapanmu” tantangnya.

Begitu geramnya prajurit muda itu akhirnya memerintahkan untuk memborgol tangan Gusti Afandi dan mengirimnya ke penjara Sungai Jawi Pontianak.

Maka hentilah pertempuran Landak terutama di Ngabang sejak tertangkapnya Gusti Afandi bersama Gusti Abdulhamid Aun, Gusti Lagum dan kaum republikein serta pemuda militan lainnya.

Di penjara Sungai Jawi Pontianak, Gusti Afandi pun meringkuk. Satu hari Gusti Afandi yang tak gentar dengan nyawa sebagai taruhan untuk membela republik ini, didatangi seorang asisten demang atas perintah residen di Pontianak.

Kedatangan “kaki tangan” kolonial itu tak lain untuk membujuk sang raja agar menyatakan keberpihakannya kepada rezim kolonial Belanda di West Borneo.

“Aku ingatkan kepada kamu, seperti juga aku ini, kamu adalah orang Indonesia maka Indonesialah yang patut kamu bela hingga matimu, sangat tak manusiawi untuk menyandang sebuah jabatan tapi berkhianat pada nusa dan bangsa,” hardik Gusti Afandi dari balik jeruji besi penjara Sungai Jawi Pontianak kepada sang asisten demang yang tak lain adalah rekan sejawatnya dulu di Ngabang.

Dengan wajah geram putra Indonesia yang propenjajah itu pun berlalu meninggalkan Gusti Afandi.
“Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah, merdeka atau mati, Republik Indonesia harga mati,” begitu ketegasan sikap Sang Raja Gusti Afandi yang mempersembahkan tahta kuasanya untuk Republik Indonesia.

Maka benar, bukanlah suatu yang jatuh dari langit manakala predikat Mahaputra disematkan pada dirinya oleh Pemerintah Republik Indonesia atas perjuangan, pengorbanan, semangat dan pengabdian kepada Ibu Pertiwi oleh Haji Gusti Muhammad Afandi Ranie Pangeran Mangkubumi Setia Negara Landak.

“Tetap dan teruslah berjuang, merdeka!!!” Begitu ujarnya berpuluh tahun kemudian selepas masa Revolusi Fisik 1945 di Kalimantan Barat.

*Penulis, historian researcher, writer & journalist di Pontianak


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
Share This Article